Saturday, January 30, 2010

Then What Next?

Teman..., tahukan kaliang fase-fase dalam perkembangan kelompok?, bagaimana sebuah kelompok tercipta? Nah fase itu adalah: forming, storming, norming, dan performing, ya kan?.

Sedikit refresh aja, menurut Si Pulan, forming adalah bagian dari proses adaptasi anggota kelompok terhadap satu sama lain, mereka memiliki asumsi dan persepsi masing-masing, diantaranya mulai merasa sejalan, merasa sesuai, merasa cocok, merasa klop, pokoknya ”enak” keliatannya kalau satu kelompok sama si dia, misalnya. Semua masih berjalan berdasarkan asumsi dan persepsinya masing-masing, karena belum terbukti kenyatannya seperti apa.

Contoh nyata: ”enak ya kalo punya sepeda MTB, jadi bisa ikutan B2W”, ”wah enak rasanya punya sepeda MTB dengan frame hussar, group set deore LX atau XTR”, ”kalo sepedaan sama Bung Tegi asyik tuh, apalagi ditemani Kang Gerry”, ”pengeeeeeeennnnnn sekali rasanya punya sepeda, biar bisa ikutan jalan-jalan”.

Kemudian beberapa orang mulai punya sepeda, entah beli bekas (sepeda KCW, misalnya), me-rakit sampai 2 tahun (sepedanya pria berkalung suci, misalnya), kredit sama si Aliong dan Nci sayang, pakai sepeda nganggur, ngerawatin sepeda orang, atau bernegosiasi dengan pemegang saham untuk invest di sepeda, prospek bisnisnya cerah lho, he..he…. Begitulah sekelumit fase forming yang pernah sama-sama kita lihat, alami dan rasakan sampai sekarang-pun.

Kemudian fase berikutnya adalah storming, masih menurut Si Pulan, adalah tahapan yang paling menentukan apakah kelompok akan menjadi tim yang solid atau tidak. Pada fase ini yang disebut asumsi, persepsi, ”rasanya”, mulai terbukti atau paling tidak terihat. Ternyata si dia tidak setangguh yang dibayangkan sebelumnya, ternyata tidak asyik sekelompok sama si dia, ternyata si dia itu orangnya ngotot dan tukan perintah, misalnya seperti itu. Nah karena harapan dan kenyataan tidak sesuai maka, anggota kelompok dihadapkan pada suasana yang kurang nyaman, lebih tajam lagi mungkin akan berantem, berdebat, tidak percaya, saling menjatuhkan, bersaing dan berkubu, atau membenci diri sendiri atas keputusannya beli sepeda, padahal pengennya minjem aja.

Di kita, fase tersebut di atas terjadi juga lho, ada yang bilang:

”kalo sepeda gua ada yang mau bayarin 5 juta nih…, sekarang…., gua akan ganti dengan road race, soalnya gua doyannya ngebut man!”,

”tangan gue kesemutan nih, lama banget, jadi ngeri…, di majalah sisling, kalo kesemutan harus ganti olah raga lain”,

”saling menjatuhkan mental sesama biker”,

”saling menantang untuk head to head”,

”mencari celah untuk men-drop-kan mental biker lain” atau

”menendang sepeda lawan saat lomba lambat-lambatan”,

”gila sepeda anak-anak udah pada mahal begitu, gua beli yang murah, tengsin, kayaknya gak jadi aja deh beli sepedanya”,

”beli dari kantor harus cash, gua juga gak jadi kayaknya”.

He..he… baru niat, udah gak jadi. Nah yang terlihat sih baru sampai wacana seperti di atas, belum sampai ada yang berantem atau gak mau sepedaan lagi sama si A, karena jahat dan suka ninggalin jauh, misalnya. Yang nulis juga, saat pecah ban di middle of nowhere, tetep kok masih ditungguin, dibantuin, tapi ada juga yang hanya bantu ngeliatin sambil minum soft drink (kecapean soalnya). Walhasil , storming yang tajam belum nampak, atau memang seperti biasa, tidak dimunculkan karena malu, atau akan menjatuhkan diri sendiri, tidak menaikkan profit, he..he…

Fase berikutnya adalah norming, menurut Kang Gerry, norming adalah fase dimana anggota mulai mampu buka mata, buka telinga, dan buka hati. Banyak yang sudah terbuka atau telanjang, kerennya ”open minded” lah. Melihat sesuatu yang tragis, nyeleneh, sotoy, yang jagoan sorangan, menjadi hal yang biasa saja. Dan anggota kelompok juga mulai mafhum mengenai sifat-sifat atau kecenderungan setiap orang. Positifnya mulai banyak diskusi, sharing, saling bantu, saling benerin sepeda yang rusak, saling support untuk segera menyelesaikan tahapan merakit sepedanya, entah di bantu teleponin ke Aliong untuk kasih harga spesial atau bantu ngerayu si Nci-nya. Juga mulai dibicarakan tantangan-tantangan yang layak untuk dihadapi, kemarin Bung Gokil cerita pengen ekspedisi ke Bali, Om Alfa tadi bilang mau naik Gede bawa sepeda, Kang Gerry ekspedisi jalur selatan, Baduy-Pameungpeuk, Nangki ekpedisi Jawatimuran dan masih banyak mimpi-mimpi lain yang hangat dibicarakan.

Tahapan berikutnya adalah performing, atau perform, atau tampil aduhai sebagai sebuah tim yang solid. Target tercapai, bahkan over, billing gede-revenue gede, verry satisfied, summa cum laude, bahagia, ketawa melulu, enjoy, la vita bella-lah pokoknya. Semua yang dikerjakan didukung oleh anggota lain, berhasil lagi, pokoknya hidup penuh cinta, penuh dengan passion, gairah, multi orgasm, dll.

Nah di dunia persepedaan, mungkin ada yang udah merasa perform untuk kapasitas dirinya sendiri dan mungkin ada yang belum. Let say, semua yang bersifat materi dalam sepeda sudah terpenuhi, misalnya, rata-rata sepeda kita bernilai rakit 5 jutaan, belum dihitung yang bernilai emosional, susah dinominalkan. Kemudan mari kita juga berangan-angan bahwa kita sudah cukup rajin bersepedaan, sering ekspedisi, sering melalui masa-masa sulit, berkeliling kemana-mana, kemudian skill-nya juga di atas rata-rata pe-hobby sepeda. Pokoknya kalo ngomong sepeda udah bisa dikatakan “manuk-na”-lah, atau tempat yang layak untuk diajak bicara sepeda, perform-lah. Terus kalo sudah perform mau apa lagi ya? Ganti mainan? Atau performa kita dalam dunia persepedaan akan sebanding lurus dengan performa professional? Dengan target-target kita? Dengan tugas-tugas kita? Saya terus mempertanyakan itu kawan? Lu begitu gak?

Ngobrol yuk?

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails