Saturday, January 30, 2010

Langit Tadi Sore

Tadi sore, langit itu semerah pipi-mu, merah malu merindu…
Di cakrawala lain…, bergantian awan merubah dirinya dari seekor angsa, boneka dan bunga, lalu kamu...
Dan aku disini, jadi ingat kamu…

10 November 2009
15 Rand St

Hembusmu sampai sini


Ah…., lelapmu, tangismu, senyummu, wangimu, rambutmu, matamu…, tak ada yang bisa menggantikannya. Aku jadi hidup. Tak sabar kuingin banyak menelusuri jalan ini bersamamu, dengan pertanyaan-pertanyaanmu, dengan kejutan-kejutanmu, dengan keluasanmu.

Peluh-keluh, lelah-patah, rindu-kelu, tak sanggup bertahan saat ku ingat kamu Al…, semuanya buyar berantakan terbang tak bersisa hanya dengan hembusmu. Ajaib.

Minggu 8 November 2009
Rand St 15

Ceritamu, Almeera Tsabitha Amadore Riswandi


Nak… nama ini bapak dan ibu pilihkan untuk kamu. Berbulan-bulan waktu mencari, bertanya, berdiskusi untuk menemukan nama yang membuat paling tidak bapak dan ibu tenang. Mudah-mudahan kelak ketika kamu mengerti, kamu akan suka. Yang pasti, nama ini doa untuk kamu, doa untuk kami. Dan tak kurang-kurangnya rasa cinta penuh damba menggelora di hati bapak dan ibu saat nama ini disepakati.

Bapak dan ibu juga sempat bertanya sama kakek-nenekmu, bahkan uyutmu… tapi saat pertanyaan dilontarkan semuanya termangu… memandang jauh ke depan, tidak ada jawaban, mungkin tidak siap dengan pertanyaan itu. Bapak hanya ingat betapa waktu itu nenekmu termangu melihat jauh ke depan, untuk kamu. Iya untuk cucu pertaman-nya yang sudah lama impikan.

Jelas terngiang sampai hari ini di telinga bapak, tangisan yang keras-begitu kamu diangkat dari rahim ibumu , sempet ragu bahkan, kamu-kah itu gerangan? Juga masih ingat, menunggu-mu di lorong bercat putih, duduk di kursi kayu bulat, tepat di depan ruang bedah. Hanya kalimah-kalimah menghamba yang sanggup bapak getarkan… lirih nak… hampir tak berbunyi … betapa menunggumu itu sebuah rasa yang bapak sendiri tidak tahu namanya… Dan begitu melihamu, memeluk-mu… bapak ini tak sanggup untuk tidak meneteskannya… jatuh sudah air mata ini.

Kita hanya berdua di ruang itu. Tentang ibu-mu, bapak sendiri lupa. Sama sekali lupa kondisinya seperti apa, maafkan ya Bu. Begitulah nak sesaknya relung bapak, saat itu Ibumu tersisihkan, tidak mendapat tempat. Tapi tahukah kamu, ibumu itu sangat perkasa, melebihi Bapakmu, kelak kamu akan tahu…

Anakku...


Nak… kita memang baru berjumpa hanya dalam hitungan hari, 3 hari cuma. Mata kamu-pun belum bisa melihat sempurna, bisa dipastikan kamu pun belum tahu aku, walaupun kamu juga adalah aku dan pada waktu yang sama aku adalah kamu. Pabaliut nya Nak… keun wae-lah…, karena Anakku, kamu kelak akan mengerti semua ini.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Anakku…, nasihat ini berlaku sama untukku tentunya, ruang itu ada hanya karena absen-nya jarak, waktu itu ada hanya karena absen-nya diam, kelak semua itu akan hadir bergantian, dan pada saat itu pula kita berjumpa ragawi.

Tidurlah kamu dengan tenang, bermainlah kamu dengan riang atau bahkan menangislah dengan keras… tak perlu khawatir… tak perlu takut… karena selalu ada harmoni dari semua itu, karena aku untukmu…

15 Rand St,
1 November 2009

Perjalanan


Semua orang melakukan perjalanan, bahkan sejak dilahirkan secara alamiah kita belajar berjalan, saya belajar berjalan, kamu belajar berjalan, mereka juga belajar berjalan, semuanya mengalami ini. Bahkan binatang; Sapi, kerbau, kuda begitu dilahirkan langsung belajar berjalan.

Perjalanan yang saya lakukan, kadang tidak selalu tahu kenapa harus dilakukan atau begitu saja dilakukan, beberapa jawabannya terletak ketika perjalanan terjadi, beberapa terjawab setela-nya, bahkan ada juga jawaban diperoleh sebelum-nya. Perjalanan secara fisik juga saya alami, bahkan dalam 6 tahun terakhir, di pekerjaan yang lalu hampir 80% isinya adalah perjalanan.

Saya pikir hanya saya yang memperoleh banyak maknanya, tapi ternyata tidak juga, semua yang terlibat dalam pekerjaan, baik itu sesama teman kerja atau orang-orang yang saya ajak berjalan memperoleh banyak makna. Jadi tahu seberapa saya sehat, seberapa cepat saya menyerah, setangguh apa saya, dan seberapa banyak saya mendapat makna tentang teman, tentang keteguhan hati atau tentang bagaimana merawat agar hati ini tetap teguh.

Tidak selalu senang, tidak selalu nikmat tapi kadang juga membosankan. Banyak juga yang menyerah, tidak mau melanjutkan perjalanan, protes, dan tidak suka dan memutuskan untuk berhenti. Sampai pada titik ini sebenarnya bukanlah menyerah atau menghentikan perjalanan, karena sejatinya perjalanan itu tetap terjadi, dan akan terus terjadi, tidak ada bedanya dimanapun atau kapanpun.

Jadi, sudah jadi ketetapan, paling tidak dalam hati saya, untuk saya, bahwa perjalanan itu adalah kehidupan itu sendiri, diri kita sendiri, diri saya sendiri.

Sabtu, 21 Oktober 2009

bukan konser musik, tapi pertemuan sahabat

Tadi malam di Bentara Budaya Kompas tampil seorang budayawan, pengelana, penggubah lagu, dan sekaligus pula seorang pencinta alam. Ia lahir di tatar Sunda. Beberapa lagu gubahannya sangat terkenal dan begitu merdu disenandungkan. Khususnya oleh orang-orang yang saat ini menginjak usia paruh baya mungkin bait demi bait dapat dilagukannya dengan mudah. Diantaranya Bunga Flamboyan, Melati Dari Jayagiri, Burung Camar dan Mars Unpad. Ia bilang penggubah, karena memang Ia menggubah dari catatan-catatan perjalanan berkelananya sepanjang hidup hingga menjadi lagu. “Pencipta hanya melekat pada Yang Maha Kuasa”, begitu selorohnya merendah.

Sudah lama saya mendengar namanya, sudah sering pula saya menyenandungkan lagu-lagunya, sudah sering pula saya mendengar cerita-ceritanya, namun baru tadi malam bisa beratap muka langsung, bersalaman yang unik, menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dengan khidmat dan menyenandungkan Lagu Syukur H. Mutahar. Sangat megah nan syahdu.

Bagi saya interaksi tersebut merupakan sebuah Oase di sebuah kota metropolis, walaupun Sang Pelagu menyampaikannya dengan selingan bercanda khas orang-orang dari tatar Sunda yang membuat suasana syahdu bergantian dengan kesegaran.

Malam itu Bentara Budaya seperti bukan di Jakarta, sinar yang redup dalam ruangan, hawa yang sejuk, formasi duduk berbentuk setengah lingkaran, penuh keakraban, penuh kehangatan. Apalagi saat Sang Pelagu bilang: “anggap saja di depan kita ada sebuah api unggun, dan kita melingkarinya”, suasana menjadi seperti di sebuah kaki gunung.

Lagu-lagunya bercerita tentang harapan, cinta dan teguran reflektif bagi siapapun yang mendengarnya.

Ketika kita berhadapan dengan permasalahan hidup yang begitu berat, lagunya menggambarkan untuk tetap tabah. Sinar bintang di langit memang tidak sampai rasa hangatnya menyentuh kulit, tapi sinarnya adalah harapan sambil menunggu matahari esok terbit.

Ketika pohon randu,menjadi tua,kulitnya mengelupas kering dan mati, tak perlu berkecil hati, karena benihnya telah dibawa angin ke angkasa dan dijatuhkannya di bumi, dan randu-randu kecil akan tetap tumbuh.

Tentang mencintai alam Ia bercerita tentang menumbuhkan pohon, merawatnya, menyiraminya, menyayanginya dan belajarlah tentang kesabaran. Karena pohon tidak tumbuh tergesa-gesa.

Tentang sebuah keterampilan Ia mencontohkan seorang prajurit, seorang ksatria yang terus berlatih, karena menurutnya tidak ada prajurit yang terlatih, tapi prajurit yang terus berlatih.

Tentang kebugaran Ia mengingatkan bahwa, tubuh adalah amanah (titipan) dari Yang Di Atas, maka selayaknya kita untuk memeliharanya..

Tentang patriotisme Ia mengajak untuk sungguh-sungguh mensyukuri apa yang telah kita peroleh, bersyukur lahir di negeri ini, bersyukur lahir dan menjadi warga negeri ini. Jaman kolonialisme dulu jika mau masuk kolam renang ada tulisan “Anjing dan Inlander dilarang masuk”. Dan rasanya kita sudah tidak bisa menemukan tulisan itu lagi, maka selayaknya kita bersyukur.

Tentang semangat, belajar dari Matahari, inilah syair-syairnya:

Mentari
Mentari menyala di sini
Di sini di dalam hatiku
Gemuruh apinya di sini
Di sini di urat darahku
Meskipun tembok yang tinggi mengurungku
Berlapis pagar duri sekitarku
Tak satupun yang sanggup menghalangiku
Bernyala di dalam hatik
Hari ini hari milikku
Juga esok masih terbentang
Dan mentari kan tetap bernyala
Di sini di urat darahku

Banyak sekali yang jadi bahan renungan saya, tak semua bisa saya tuliskan. Mungkin juga ada yang salah, oleh sebab itu mohon maaf. Saya hanya ingin berbagi.

Sambil melagu, Sang Pelagu selalu menyelipkan dan memberikan cerita pengantar tentang lagu, tentang kondisi bangsa, tentang cerita di negeri Jepang, di sebuah taman di London, tentang orang tua-nya, tentang masa remajanya, tentang lagu-lagu Afrika, penyanyi Afrika Selatan dan dongeng-dongeng lain. Saya jadi teringat pula LF 28 tentang Meta4Change, cerita metaphore untuk pemberdayaan.

Demikian.

Selamat Pagi Teman

Seminggu terakhir kemarin yang luar biasa…

Hari senin ini saya merasa bergairah banget menjalani aktivitas kerja…., hari ini tadinya mau libur, tapi ternyata gak bisa menahan rasa rindu ingin ngantor…, ketemu para “jagoan neon”, “para ahli strategi”, “para aktor watak”, para programer, instruktur, dan tentunya staff lainnya.

Kenapa saya bilang para ahli strategi?, karena Mas Mleto cs di Ancol Bay yg kemarin yang deg-degan di landa gempa dan rencananya Tsunami, bisa lolos, karena Tsunami tidak jadi menghampiri Ancol seperti banyak diduga orang… Strategi menyediakan “life fest” nampaknya cukup membuat lega para peserta dari Cep Ron. Mestinya Mas Mleto juga bilang pada orang-orang Cep Ron bahwa: Pelopor telah mempersiapkan orang-orang yang siap ber-jibaku di kepulauan seribu, yang siap mengabari Ancol Bay jika tsunami benar-benar jadi datang…, he..he…, sehingga orang Cep Ron cukup bangga pada kita semua, he..he… lagi.

Sementara di ketinggian Bandung Utara (Lembang utara-kan?). Tim Wow menelorkan program baru, program yang penuh dengan harmonisasi musik, fisik dan jiwa… Program ini cukup lain dari biasanya, karena kita mencoba memasukkan unsur musik, yang jarang kita terapkan. Dulu emang pernah di Siemen Management Learning, namun hanya di final project saja. Suasana pelatihan dibangun dengan hal-hal yang bersifat harmoni. Untuk Brief kegiatan, kita selipkan beberapa reading, Bung Yuki pada awalnya memasukan metahpore-metaphore mengenai pergerakan harga minyak mentah di pasar global untuk membangun suasana bisnis dan cerita mengenai “pegas” yang lepas dalam sebuah senapan. Bung Syafri memasukan metahphore-metaphore “Kunci”, hingga menjadi “orang kunci”, karena sering kehilangan “Kunci” kamar, hingga pusing sendiri. (gak nyambung nih….). Bung Sonny yang selalu merasa teraniaya oleh saya. Saya sendiri ingin menjadi Zen Master, tapi setelah ditimbang-timbang dengan kondisi psikis peserta, Zen Master kurang cocok. (tunggu saja tanggal main yang tepat, maka anda semua akan terpana……)

Solo, kita bangun dengan musik tempo rendah dan cerita-cerita yang penuh metaphore. Ternyata kita bisa mengajak peserta untuk belajar dalam gelombang otak yang paling kreatif, yaitu gelombang “theta”, dimana gelombang otak ada pada kisaran 4-8 hz, pada saat ini kita bisa menjadi kreatif dan sangat fokus, hanya dengan menggunakan musik dan cerita metahpore. Kondisi Theta juga bisa dibangun oleh suasana eksternal, misal: pemandangan alam yang indah, Waduk Jatiluhur di sore hari atau Nagrog dikala matahari terbit. Bagi sebagian orang kondisi eksternal ini bisa membuat “trance”, otak dalam gelombang “theta”. Pelatihan Wow, emang cukup panjang dan menantang, menjadi terasa panjang dan menantang karena lokasinya sbagian besar di Hotel, tempatnya sempit, namun dituntut keberhasilan yang cenderung pada perubahan sikap. Namun Sang CI, mampu mengirim “roh”-nya (bukan muji-muji nih….) kepada para GI, sehingga course jadi menyenangkan dan menuntut untuk selalu kreatif memberikan yang terbaik untuk peserta. Sharing setiap malam hingga pagi hari bagaikan “suntikan” vitamin yang membuat hari penuh vitalitas. Walhasil… dari course ini kita mesti siap-siap untuk menerima sekitar 4000 orang yang akan turut dalam program-program kita. Untuk Mas Amin, Kucay, Babe (Klan Atmajaya), Afrizal, Bung Tegi, Bung Syafri, Bung Yuki, Bung Ook, Bung Tobing dan Istri, Mas DBD Baidi… bersiap-siaplah….

Masih di Bandung Utara Tim mas DBD Baidi, sibuk dengan Program Bang Indon. Tim Wow sempat ketemu di Cikole, di Putri Gunung dan di Grand Lembang (Camp Kedua Tim Mas DBD Baidi). Awalnya saya sempet ragu sama Mas Baidi ketika saya tanya tentang prog Bang Indon dimana jawabannya: “Wah pak Iwan…, pokoknya datar-datar saja, semua datar…..”. Namun ketika saya datangi Camp Keduanya, saya coba rasa-rasakan “aura”nya, ternyata lumayan positif, saya sempat coba bantu bagi-bagiin kaos untuk peserta, (setelah makan pete…., baru sadar ketika OTW ke Jakarta, mudah2an gak bau…, he..he…, jorok luh!!!!), turut minum Wedang Ronde, (kata Bung Tegi mirip Sop), pokoknya turut ngerecokin lah…, bahkan saya sama Bung Yuki, udah bikin skenario untuk melakukan “coup de etat”, pada saat pembukaan…, untung gak jadi, karena pembukaan baru akan dilaksanakan esok harinya.

Saya ketemu Kang Santoleot (Sandi …..-nya peot), yang tetap aja kurus menghawatirkan, mudah-mudahan jiwanya tetap gemuk, Romi (klan yunior atma), Bung Tejo (PAL IKOPIN), Tim Jatiluhur Haji Tarmidi (kemarin jadi LTS paling senior), Mumuy Mohawk, Deni, Tedi, dll, kangen sekali ternyata saya dengan mereka. Udah lama gak pelatihan bareng…., kamana wae yeuh….????

Oh ya… ada yang kelewat nih, ada suatu malam dimana Bung Tegi, Om Bow, dan Bu Tia, gedor-gedor pintu hotel dipagi hari sekitar pukul 02.00, bikin BT, karena kami baru saja tidur…, saya memang bukain pintu kamar, dan secepat kilat saya kembali masuk ke balik selimut, sori ngantuk banget…, ogah ngobrol…., he..he…

Dan pagi ini ketika nyampe Kantor, sudah nampak Bung Tegi dengan Jersey merah, Om Bow dengan korannya, saya dengan cengar-cengir-nya, kemudian Mas Mleto dengan Jersey Endurans… (dia orang Endurans ya…?, apa gak ada lagi Jersey lain?). Pagi yang begitu berwarna menurut saya. Dan tak lama kemudian datang-lah majalah NG dari Joan, dimana terpampang Pria Cibinong yang nampak seperti Baduy Aseli itu nampang dengan tulisan perjalanannya yang luar biasa… (biasa di luar …), membuat saya bangga…. bangga hidup dimuka bumi ini yang penuh warna… penuh gairah…. Salute untuk Bung Tegi. Selamat….

Segitulah, cerita pagi saya, cerita yang membuat hari ini menjadi hari senin yang luar biasa….

BRAVO…. PAC-ers….

“Kita mungkin tidak bisa merubah arah angin…., terpaan gelombang lautan….., namun kita selalu bisa menyesuaikan layarnya”…..

Twin Cities, Surga Pesepeda Seperti Saya


30 Oktober 2006, saya sampai di Minneapolis/St. Paul International Airport. Minneapolis adalah kota terbesar kedua setelah St. Paul di Minnesota-Amerika Serikat, oleh sebab itu keduanya disebut sebagai kota kembar, twin cities. Cukup melelahkan setelah perjalanan kurang lebih 30 jam dari Cengkareng, namun hal tersebut begitu saja terobati setelah melihat sebuah pemandangan gerombolan sepeda. Baru saja selesai mengambil bagasi, sudah terbengong-bengong, penuh rasa tidak percaya karena banyak orang yang me-nenteng sepeda gunung. Rupanya mereka adalah para karyawan. Kemudian saya ikuti sampai ke Metro Railway Station, sepeda naik juga dengan setia, dan tiba-tiba sepeda diangkat kemudian digantungin begitu saja di bike rack yang tersedia, ohhh….., begitu toh caranya. Woow…., keren banget, si biker dengan asyiknya duduk tanpa harus repot menggandeng sepeda.

Itu sekelumit kesan pertama. Saat itu saya sedang mengikuti sebuah AEE (Association for Experiential Education) Annual International Conference. Kantor saya, adalah salah satu anggotanya sejak tahun 1995, jadi disini merupakan tugas kantor. Tapi Sepeda….. Sepeda….. Sepeda lagi…, yang juga menyedot sebagian energi dan perhatian saya, benar-benar multi-orgasm merasakan surga biker ini.

Saya memang sudah berniat akan naik sepeda pulang pergi ke tempat konferensi. Dari Jakarta sudah disiapkan helm (walaupun akhirnya diputuskan tidak dibawa karena tas tidak cukup), bike to work tag, dan informasi tentang sepeda di negeri ini sejak jauh hari. Tempat menginap memang cukup jauh dari tempat konferensi dan aturan tentang berkendaraan cukup berbeda dengan Indonesia, jadi butuh waktu satu hari untuk keliling, melihat, mengamati hingga naik turun bis dan kereta sekedar membiasakan diri. Hingga jatuh hari yang ditunggu-tunggu, akhirnya meluncurlah kereta angin pinjaman dari seorang kawan dengan lancar, wusshhh….. Hampir setiap hari suhu udara berada dikisaran -6ºC sampai dengan 6ºC, namun saya menikmatinya dengan penuh gairah. Minnesota memang sangat dingin di akhir tahun, namun tetap hangat di atas sepeda.

Di Minnesota kebijakan transportasi sepeda mendapat kehormatan dan penghargaan yang cukup tinggi. bike lane, bike road, bike path/trail, bike shoulders, bike rack, bike sign, disediakan begitu istimewa. Pejalan kaki adalah nomor satu dalam lalu lintas, dan pe-sepeda adalah nomor dua. Namun dibandingkan dengan kendaraan lain, sepeda adalah kelas wahid. Tidak mengherankan karena berdasarkan perhitungan Departemen Transportasi Minnesota tahun lalu, sejumlah 63% penduduk dewasa-nya adalah pesepeda yang aktif. Selain itu juga berdasarkan Federal Guidance Transportation Departement, TEA-21, Februari 2000, disebutkan bahwa jalur sepeda dan pedestrian harus dibangun dalam setiap proyek pembangunan baru dan proyek rekonstruksi.

Bike lane disediakan antara bahu jalan dan jalan utama, pada kedua sisinya ditandai dengan garis putih tebal. Memang tidak setiap jalanan memiliki bike lane, tapi selalu ada bike shoulder yang bisa digunakan berdampingan dengan jalur pejalan kaki. Jika bike lane akan berakhir pasti ada tandanya berupa tulisan seperti ini: Bike Lane End”, maka si pesepeda akan pindah ke bike shoulder. Demikian pula jika bike lane di depan kita tersedia, maka akan ada tulisan berikut “Bike Lane Start”. Pada beberapa taman kota disediakan jalur sepeda khusus, dipisahkan dari para jalur pejalan kaki. Ada jalur off road dan on road, jadi bagi sepeda gunung maka jalur off road adalah jatahnya, sementara bagi pesepeda race, maka jalur on road adalah jatahnya.

Bike rack disediakan di dalam kereta listrik, posisinya nampak seperti pegangan (handle) pintu, sepeda tinggal diangkat roda depannya dan digantunkan. Bike rack juga bisa ditemui di bis, ditempatkan di depan mobil, tepatnya di-bumper, dengan kapasitas sampai dengan 2 buah sepeda. Dan tentunya bumper tersebut sudah mendapat rak tambahan khusus. Posisinya sepeda saat di rak tersebut berdiri dengan roda depan dijepit yang berfungsi sebagai kunci, jadi tidak membutuhkan waktu panjang, sungguh sangat praktis dan kokoh. Kemudian hampir di setiap tempat-tempat umum disediakan tempat parkir, modelnya sederhana, nampak seperti pagar biasa, tinggal memasukan roda depan atau belakang, maka sepeda sudah terparkir dengan baik. Namun ada juga yang bentuk yang berbeda, lebih mirip sepeda yang ditata di depan taman atau di pedestrian. Di tempat parkir ini biasanya orang menggunakan kunci, atau terparkir begitu saja. Ketika saya tanyakan apakah aman dengan tanpa kunci kepada para biker, jawabannya adalah “mungkin saja dicuri, tapi jarang sekali”.

Oh ya…, pada hari-hari tertentu khususnya musim dingin, pada beberapa tempat perhentian atau stasiun sering disediakan minuman panas dan kue-kue gratis khusus bagi para pesepeda dan pengguna kendaraan umum lainnya. Lagi-lagi pesepeda dimanjakan dengan fasilitas pemerintah. Di kita???

Pesepeda di negeri ini memiliki banyak wadah atau organisasi, diantaranya adalah Bike Walk Organization dan The State Bicycle Advisory Committee, yang memiliki program-program dengan tujuan hampir sama, yaitu memberikan informasi mengenai sehat dan aman-nya bersepeda. Bersama-sama pemerintah membangun fasilitas umum, khususnya untuk sepeda. Program Kampanye yang sudah berjalan adalah “Share The Road”, kampanye ini mengajak seluruh anggota masyarakat untuk berbagi jalan, saling menghormati pengguna jalan lainnya dan saling menjaga keselamatan masing-masing. Hampir di setiap sudut jalan terpasang tulisan “Share The Road”. Selain itu ada juga program The Safe Route to Schoool, Encouraging Bike Commuting and Walking dan The Minnesota Scenic Bikeways System.

Itulah sedikit pengalaman, mungkin tulisan sejenis pernah diterbitkan di sini, tapi mudah-mudahan menjadi sekedar pelengkap dan sekedar pelipur kangen saya terhadap biker di Indonesia.

Bagaimana Menjalani Hidup

Di bawah ini ada beberapa kalimat, yang menggambarkan pengertian bagaimana menjalani hidup:

”Jalani hidup…., yang tenang-tenang-tenang sajalah…., seperti karang…” (sebuah kutipan dari lagu Iwan Fals).

”Aku ingin nyanyikan lagu, buat orang-orang yang terbuang, kehilangan semangat juang, terlena dalam mimpi panjang…., Aku ingin nyanyikan lagu.., buat kaum-kaum yang terbuang, kehilangan semangat juang.., terlena dalam mimpi panjaaang…., kenapa harus takut pada malam hari, nyalakan lilin dalam hatimu…, kenapa harus takut pada matahari, kepakan sayap, terbang tinggi di angkasaaa….” (sebuah kutipan lagu, saya tidak tahu lagu siapa, hanya lagu ini sering dinyanyikan para pengamen di bis kota).

”…hidup just for today, gua hanya ngakalin bagaimana caranya agar hidup gua bahagia hari ini, gak punya tabungan, gak punya asuransi, misalkan hari ini ada yang ngajak ke Thailand, terus gua punya uang, gua akan pergi, gak peduli besok atau lusa belangsak”, gua akan tetap jalan…” (sepenggal obrolan dengan seorang sahabat).

”I work for life, not life for work”… (sebuah kutipan dari blogger seseorang dari US).

Kalimat-kalimat di atas kadang membuat kita terlena, membuat kita menjalani hidup sangat lambat, kurang dinamis dan kehilangan semangat juang. Atau menjadi sekedar obat dikala lelah dan sesekali frustasi, dan akhirnya kita pasrah menjalani saja sesuai dengan apa yang kita dapatkan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa sesekali kita mengeluhkan baik dalam hati atau diobrolkan dengan teman atau sahabat, bahwa materi yang kita peroleh dalam hidup terasa kurang, selalu kurang dan tidak cukup untuk memenuhi segala keinginan duniawi kita. Apakah hal ini menandakan kita benar-benar terjebak dalam teori konstruktivisme, bahwa kehidupan ini dibangun diatas opini, dibangun diatas kesepakatan-kesepakatan yang akhirnya menjebak diri sendiri.

Apakah tujuan hidup? Memiliki materi yang berkelimpahan? Atau cukup hidup bahagia di hari ini, besok, lusa dan hari-hari berikutnya? Pasti semua orang akan menjawab bahwa tujuan hidup adalah mencapai kebahagiaan? Lantas apa arti kebahagiaan itu? Apakah hidup bahagia hari ini? Besok? Lusa? Setiap hari?. Kalau ya, kenapa masih muncul dalam pikiran kita mengenai kurangnya materi yang kita dapatkan di setiap bulannya? Atau kita mendefinisikan bahagia juga belum tepat, masih simpang siur antara kebahagiaan tanpa materi atau kebahagiaan dengan materi. Benar-benar membingungkan.

Sedikit mengenai konstruktivisme.

Saya tidak tahu siapa yang pertama kali menemukan teori ini. Hanya menurut teori tersebut bahwa kehidupan saat ini dibangun di atas opini, diatas konsensus, di atas kesepakatan-kesepakatan yang dibangun sejak manusia ada. Kita mengartikan kursi adalah tempat duduk, bisa terbuat dari kayu, logam, batu, semen dengan fungsi umum untuk diduduki. Kursi tidak pernah disebut sendok atau ember, tapi tetap saja sampai saat ini disebutnya adalah kursi. Kita juga menyepakati bahwa emas adalah logam mulia, logam mahal, memiliki nilai materi tinggi, siapa yang menyepakati ini pertama kali dan kenapa. Kemudian kita juga menjadi stereotipe, bahwa ciri orang yang bahagia atau makmur adalah memiliki uang banyak, mobil mewah, rumah besar, kekuasaan tinggi, ganteng, cantik. Yang tidak seperti itu, dianggap tidak bahagia atau makmur. Kalau kita tidak ikut kesepakatan-kesepakatan di atas, kita menjadi orang yang aneh, orang yang maju, tidak modern atau menjadi orang yang bukan siapa-siapa. Semua orang mengejar, banting tulang untuk mendapatkan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibangun, ada yang bisa, ada yang tidak, ada yang frustasi, ada yang gila, ada yang menjadi sadis dan bahkan mati. Kasihan kita…., kasihan manusia.., pantesan beberapa sufi mengatakan bahwa kehidupan adalah sebuah jebakan, sebuah siksaan, sebuah ujian, sebuah penjara, bahkan para sufi berlomba untuk melepaskan diri dari cengkeraman-cengkeraman tersebut. Syech Siti Jenar menyebutkan bahwa manusia bukan sedang menjalani kehidupan tapi sedang menjalani kematiannya untuk menjelang kehidupan nanti. Orang-orang yang tidak mengetahui jalan menuju kehidupan maka akan menderita sepanjang kematiannya.

Kemudian bagaimana menjalani hidup ini atau kematian ini (seperti menurut SSJ)?.

Jawabannya simple dan tidak simple. Dan jawaban yang saya miliki juga simple, adalah; TIDAK TAHU. Bagaimana menurut anda?

Then What Next?

Teman..., tahukan kaliang fase-fase dalam perkembangan kelompok?, bagaimana sebuah kelompok tercipta? Nah fase itu adalah: forming, storming, norming, dan performing, ya kan?.

Sedikit refresh aja, menurut Si Pulan, forming adalah bagian dari proses adaptasi anggota kelompok terhadap satu sama lain, mereka memiliki asumsi dan persepsi masing-masing, diantaranya mulai merasa sejalan, merasa sesuai, merasa cocok, merasa klop, pokoknya ”enak” keliatannya kalau satu kelompok sama si dia, misalnya. Semua masih berjalan berdasarkan asumsi dan persepsinya masing-masing, karena belum terbukti kenyatannya seperti apa.

Contoh nyata: ”enak ya kalo punya sepeda MTB, jadi bisa ikutan B2W”, ”wah enak rasanya punya sepeda MTB dengan frame hussar, group set deore LX atau XTR”, ”kalo sepedaan sama Bung Tegi asyik tuh, apalagi ditemani Kang Gerry”, ”pengeeeeeeennnnnn sekali rasanya punya sepeda, biar bisa ikutan jalan-jalan”.

Kemudian beberapa orang mulai punya sepeda, entah beli bekas (sepeda KCW, misalnya), me-rakit sampai 2 tahun (sepedanya pria berkalung suci, misalnya), kredit sama si Aliong dan Nci sayang, pakai sepeda nganggur, ngerawatin sepeda orang, atau bernegosiasi dengan pemegang saham untuk invest di sepeda, prospek bisnisnya cerah lho, he..he…. Begitulah sekelumit fase forming yang pernah sama-sama kita lihat, alami dan rasakan sampai sekarang-pun.

Kemudian fase berikutnya adalah storming, masih menurut Si Pulan, adalah tahapan yang paling menentukan apakah kelompok akan menjadi tim yang solid atau tidak. Pada fase ini yang disebut asumsi, persepsi, ”rasanya”, mulai terbukti atau paling tidak terihat. Ternyata si dia tidak setangguh yang dibayangkan sebelumnya, ternyata tidak asyik sekelompok sama si dia, ternyata si dia itu orangnya ngotot dan tukan perintah, misalnya seperti itu. Nah karena harapan dan kenyataan tidak sesuai maka, anggota kelompok dihadapkan pada suasana yang kurang nyaman, lebih tajam lagi mungkin akan berantem, berdebat, tidak percaya, saling menjatuhkan, bersaing dan berkubu, atau membenci diri sendiri atas keputusannya beli sepeda, padahal pengennya minjem aja.

Di kita, fase tersebut di atas terjadi juga lho, ada yang bilang:

”kalo sepeda gua ada yang mau bayarin 5 juta nih…, sekarang…., gua akan ganti dengan road race, soalnya gua doyannya ngebut man!”,

”tangan gue kesemutan nih, lama banget, jadi ngeri…, di majalah sisling, kalo kesemutan harus ganti olah raga lain”,

”saling menjatuhkan mental sesama biker”,

”saling menantang untuk head to head”,

”mencari celah untuk men-drop-kan mental biker lain” atau

”menendang sepeda lawan saat lomba lambat-lambatan”,

”gila sepeda anak-anak udah pada mahal begitu, gua beli yang murah, tengsin, kayaknya gak jadi aja deh beli sepedanya”,

”beli dari kantor harus cash, gua juga gak jadi kayaknya”.

He..he… baru niat, udah gak jadi. Nah yang terlihat sih baru sampai wacana seperti di atas, belum sampai ada yang berantem atau gak mau sepedaan lagi sama si A, karena jahat dan suka ninggalin jauh, misalnya. Yang nulis juga, saat pecah ban di middle of nowhere, tetep kok masih ditungguin, dibantuin, tapi ada juga yang hanya bantu ngeliatin sambil minum soft drink (kecapean soalnya). Walhasil , storming yang tajam belum nampak, atau memang seperti biasa, tidak dimunculkan karena malu, atau akan menjatuhkan diri sendiri, tidak menaikkan profit, he..he…

Fase berikutnya adalah norming, menurut Kang Gerry, norming adalah fase dimana anggota mulai mampu buka mata, buka telinga, dan buka hati. Banyak yang sudah terbuka atau telanjang, kerennya ”open minded” lah. Melihat sesuatu yang tragis, nyeleneh, sotoy, yang jagoan sorangan, menjadi hal yang biasa saja. Dan anggota kelompok juga mulai mafhum mengenai sifat-sifat atau kecenderungan setiap orang. Positifnya mulai banyak diskusi, sharing, saling bantu, saling benerin sepeda yang rusak, saling support untuk segera menyelesaikan tahapan merakit sepedanya, entah di bantu teleponin ke Aliong untuk kasih harga spesial atau bantu ngerayu si Nci-nya. Juga mulai dibicarakan tantangan-tantangan yang layak untuk dihadapi, kemarin Bung Gokil cerita pengen ekspedisi ke Bali, Om Alfa tadi bilang mau naik Gede bawa sepeda, Kang Gerry ekspedisi jalur selatan, Baduy-Pameungpeuk, Nangki ekpedisi Jawatimuran dan masih banyak mimpi-mimpi lain yang hangat dibicarakan.

Tahapan berikutnya adalah performing, atau perform, atau tampil aduhai sebagai sebuah tim yang solid. Target tercapai, bahkan over, billing gede-revenue gede, verry satisfied, summa cum laude, bahagia, ketawa melulu, enjoy, la vita bella-lah pokoknya. Semua yang dikerjakan didukung oleh anggota lain, berhasil lagi, pokoknya hidup penuh cinta, penuh dengan passion, gairah, multi orgasm, dll.

Nah di dunia persepedaan, mungkin ada yang udah merasa perform untuk kapasitas dirinya sendiri dan mungkin ada yang belum. Let say, semua yang bersifat materi dalam sepeda sudah terpenuhi, misalnya, rata-rata sepeda kita bernilai rakit 5 jutaan, belum dihitung yang bernilai emosional, susah dinominalkan. Kemudan mari kita juga berangan-angan bahwa kita sudah cukup rajin bersepedaan, sering ekspedisi, sering melalui masa-masa sulit, berkeliling kemana-mana, kemudian skill-nya juga di atas rata-rata pe-hobby sepeda. Pokoknya kalo ngomong sepeda udah bisa dikatakan “manuk-na”-lah, atau tempat yang layak untuk diajak bicara sepeda, perform-lah. Terus kalo sudah perform mau apa lagi ya? Ganti mainan? Atau performa kita dalam dunia persepedaan akan sebanding lurus dengan performa professional? Dengan target-target kita? Dengan tugas-tugas kita? Saya terus mempertanyakan itu kawan? Lu begitu gak?

Ngobrol yuk?

For those who love uncertainty, 200 kilometers…, why not?. (headline iklan yang ditempel ditempat pengumuman kantor)

29 April 2006, naik sepeda gunung dari Rangkas Bitung-Sajira-Jasinga-Leuwi Liang-Parung-Ciputat-Bintaro, kurang lebih 200 kilometer.

Sesaat setelah sampai di rumah, hati ini selalu menggumamkan: “gak nyangka, akhirnya bisa melewati lebih 200 kilometer dalam sehari, 3,5 jam lebih cepat, bahkan beberapa hari kemudian masih menggumamkan hal yang sama. Bagi sebagian orang mungkin itu biasa saja, tapi mungkin juga luar biasa. Satu teman menanyakan mengenai kegiatan sepedaan tersebut, “jadi gak sepedaannya?”, “jadi dong”, “wah hebat lu, luar biasa”. Ungkapan spontan tersebut, merupakan kalimat affirmasi yang sangat positif terutama untuk yang menerimanya, kemudian kusimpan dalam benak, kutanamkan dalam hati, kujadikan running text di depan mata, bahwa saat tersebut aku luar biasa.

Selepas Jasinga menuju Leuwi Liang, hampir 80 persen tanjakan, dengan rata-rata elevasi kurang lebih 30 meter. Tanjakan adalah tantangan, tantangan untuk menyatakan dalam hati “gua gak akan turun”, “tanjakan ini hanya tanjakan biasa saja”, “gua pasti bisa lewati”. Luar biasanya tak satupun tanjakan yang membuatku turun menginjak aspal dan menuntun sepeda.

Aku dan Bung Tegi rekanku, pada saat-saat break selalu bergantian menanyakan apakah turun di tanjakan, dan jawabannya selalu “tidak”, kemudian selalu disusul dengan ungkapan “wah selamat”, dengan high five yang keras. “Plak”.

Satu lagi kalimat affirmasi positif. Pentingkah itu? Tentu jawabnya penting. “you can if you think you can”, “kamu pasti bisa jika kamu pikir kamu bisa”. Slogan tersebut tentunya sudah lama, sudah biasa diungkapkan dalam obrolan keseharian, namun seberapa sering kita mampu membuktikannya?

Menurut pakar motivasi, salah satu kunci sukses, dalam bidang apapun, karir, bisnis, keluarga atau lainnya, adalah seberapa sering kita mengingat, menyimpan dalam hati, menuliskan dan bahkan kemudian menempelkan tulisan hal-hal positif yang ada dalam diri kita, supaya sering terbaca. Intinya seberapa besar kita bisa menghargai diri kita sendiri, maka akan punya korelasi terhadap self confidence, asertif, dan tentunya tidak jadi orang yang inferior.

600 pernyataan negatif dalam 24 jam yang setiap saat datang menghampiri diri kita, entah dari dalam diri sendiri, tentunya oleh diri sendiri, dari orang lain atau eksternal. Sementara pernyataan positif yang diterima diri kita sangat jauh lebih sedikit dibanding pernyataan negatif. Tentu saja pernyataan-pernyataan tersebut pengaruhnya terhadap diri seseorang berbeda-beda, ada yang melesat berkembang atau melesak. Nah coba hitung dalam hari ini, sampai detik ini, seberapa banyak diri kita mendapatkan ungkapan positif dari dalam diri sendiri? Dari orang lain? Kemudian jika hasilnya sangat kurang?, bisa jadi karena orang Timur memang kurang ekspresif atau jangan-jangan tidak banyak hal positif yang kita lakukan hari ini.

Jubre, Garbage, Sampah

Sharing dengan Bung Tegar

Bung Tegar suka bilang kalau dirinya adalah orang agraris, frase ini mungkin untuk menyatakan bahwa ia berasal dari kampung, orang kampung, suka bertani, atau mungkin juga kampungan. Itu sepintas kesan yang saya tangkap dari obrolan-obrolan santainya.

Tapi teman…, rupanya sebagaian perilaku dari budaya agraris dalam masyarakat kita masih kental, walaupun sawah, ladang, kebon, lahan hijau untuk tumbuhnya puun-puun(baca: pohon) makin sedikit dan termarjinalkan. Migrasi besar-besaran dari budaya agraris ke budaya industri, rupanya tidak menyurutkan atau menghilangakan satu perilaku dari budaya agraris yang paling tua dan sederhana.

Apakah perilaku itu? Sebentar…., sabar….!, Koes Plus punya lagu yang salah satu liriknya adalah sebagai berikut: “orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, tersiratkan?, betapa suburnya tanah kita. Kemudian sebagian westernis juga bilang apapun yang di lemparkan begitu saja di tanah kita akan tumbuh subur dan beranak pinak.

Udah ketebak belum perilaku apa yang masih kita bawa dari budaya agraris? Udah?, kalo ya, berarti cukup pintar sampeyan….. PAC-ers, rupanya budaya agraris yang masih kental dalam kehidupan bermasyarakat kita adalah: BUANG SAMPAH SEMBARANGAN. Lho kenapa itu jadi warisan budaya agraris kita?. Begini ceritanya: Dahulu kala sampah yang dihasilkan di jaman agraris tidak ada plastik, deodorant, kaleng, besi, timbal atau limbah B3, (limbah B1 dan B2 sih…, sudah ada dari dulu), jadi sampah yang ada hampir semua bisa dihancurkan secara alami. Jadi orang-orang di jaman agraris, kalo buang sampah cenderung di buang langsung ke sembarang tempat (di luar rumah tentunya), karena memang sampahnya aman.

Nah…, buang sampah sembarangan di jaman sekarang (industri ya?) tidak bisa lagi dong…., sampahnya sudah banyak yang tidak aman, butuh perlakuan lebih lanjut supaya ramah terhadap lingkungan. Tapi kenapa ya?… masih banyak juga yang buang sampah sembarangan……?.

Ada beberapa alasan sih kalo menurut saya:

1.Transfer knowledge dari orang tua ke anak, guru ke murid, orang dewasa ke kanak-kanak, trainer ke trainee, mother pal ke pal, kakak ke adik, sahabat ke sahabat, pacar ke pacar atau ttm tidak selesai atau tidak terjadi.
2.Bodoh…
3.Masa bodoh…
4.Bodoh ah..

Sakieu…, nuhun.

Apa itu belajar sendiri?

Jalan Setapak
Kita sering dihadapkan dengan suatu kondisi dimana kita benar-benar harus memuaskan rasa ingin tahu sendiri dengan segala kemampuan yang minimal. Lingkungan sekitar sebenarnya memungkinkan untuk memenuhi rasa ingin tahu tersebut, tapi kadang-kadang kita juga mengharapkan ada orang lain yang mau ngajarin, ingin sesekali tahu bagaimana seseorang tersebut ngajarain atau men-encourage kita, sehingga tahu banyak hal-hal lain di luar lingkungan kita sendiri. Hal tersebut sangat wajar terjadi, apalagi kita dan nenek moyang sempat dibesarkan dengan “disuapin dan dibohongin” selama 350 tahun oleh kolonial plus 32 tahun oleh orba. Kemudian adakah cara lain sehingga rasa ingin tahu kita bisa terpenuhi tanpa harus disuapin seperti para nenek moyang kita waktu lalu?, apa yang harus kita lakukan?

Jalan Pilihan Siapa Yang Mau?
Ada beberapa pepatah yang mungkin bisa kita jadikan inspirasi:

The thousand miles of journey begins with your single step”
Tao Leaderhip

“Aku tidak akan mati di atas kelemahanku”
Ahmad Haerunman, Peserta Senior Cabin Crew Adventure Training Garuda Indonesia

“Tidak ada prajurit yang terlatih, tapi yang ada adalah prajurit yang terus berlatih (belajar)”
Iwan Abdulrahman, diperoleh dari beberapa pengalaman temannya

“Aku adalah retak yang direkat oleh sekelilingku”
Radhar Panca Dahana

Pepatah pertama memberikan gambaran bahwa sebuah perjalanan yang panjang atau pendek sekalipun harus diawali dengan satu langkah pertama baru kemudian kedua, ketiga dan seterusnya, langkah ini bisa berarti langkah kita secara fisik atau niat dalam hati. Langkah ini pula yang akan tetap bergelora atau bertahan jika muncul dari kesadaran diri sendiri, come from our deep inside, hasil bengang-bengong, hasil perenungan yang serius atau muncul begitu saja saat kita duduk nyaman di closet duduk. Lantas bagaimana memunculkan niat atau langkah pertamanya?, tidak pernah ada satu formula-pun yang baku, yang sanggup memandu kita memunculkan hal tersebut di atas, tapi akan sangat tergantung dengan pengalaman hidup kita sebelumnya dan tentu saja pola pikir atau tempat berpijak kita sebelumnya. Hanya kita atau si individu saja yang tahu persis bagaimana memunculkannya.

Saat kita menemukan cara bagaimana memunculkannya, maka hal tersebut tidak akan selesai pula hanya dengan menjalankannya, mungkin akan ditemui hal-hal yang sifatnya muncul dari dalam diri sendiri dan dari luar diri kita yang merintangi usaha tersebut. Kita akan merasa terjebak secara fisik dan mental dengan rutinitas dan keterbatasan yang lambat laun memenjarakan hati dan pikiran kita. Maka dunia menjadi hambar, berjalan tanpa nyawa, tak ada emosi, yang ada hanya rasa frustasi, pandangan yang sempit dan hanya bangga kepada diri sendiri yang semu. Secara tidak sadar hal tersebut kita pupuk, kita pelihara dengan cara menjadikannya sebagai pelindung dan alasan untuk tidak mencari dan terus mencari. Ingatkah apa yang ditakutkan sebagian besar ahli sufi (basicly adventurer), mereka tidak pernah takut untuk mati, tapi mereka takut jika sepenuh hidupnya tidak bisa “mencari”.

Ahmad Haerunman salah seorang peserta adventure training menghadapi kenyataan birokrasi yang rumit untuk mengubah dan mengembangkan diri dan lembaga-nya, butuh waktu yang sangat panjang untuk merubuhkan tembok yang dianggapnya menjadi dinding penjara bagi dirinya dan sebagian besar teman-temannya untuk berkembang. Seorang Ahmad Haerunman hanya seorang pekerja yang jika dilihat sepintas sama saja dengan yang lainnya, teman-temannya, tapi ada yang berbeda dalam dirinya dibanding yang lain, apakah itu?, Dia tidak pernah mau berhenti berusaha dan belajar, paling tidak untuk melawan penjara hati untuk dirinya sendiri. Kita perlu bangga padanya pada jaman seperti ini, yang hedonis.

Iwan Abdulrahman pernah mengingatkan kita bahwa tidak ada prajurit terlatih tapi yang ada adalah prajurit yang terus berlatih atau belajar dari waktu ke waktu tanpa berhenti. Tinggal maukah kita memaknai setiap latihan, setiap turunnya kita menjadi bagian dari pelatihan, setiap rasa yang kita terima dan coba berikan saat rasa haus menjadi lega di dalam perjalanan.

Yang terakhir, Radhar Pancha Dahana mengingatkan kita pada interdepensi, kesalingtergantungan kita dengan lingkungan dan orang-orang sekitar. Kita memang tak lebih dari sebuah “retak” yang direkat oleh sekelilingnya, tak lebih dari itu, maka ingatlah jika kita coba memungkirinya. Kita pasti tahu apa yang selanjutnya akan menimpa, bukan?

18-03-02, Sang Kodok

Mountain Biking, Mengelilingi 5 Gunung di Malam Hari

Kami berlima saat itu; Saya, Bung Syafrizal, Kang Dodi dan sepupunya yaitu Markum dan biker handal dari Jatiluhur, Sutedi meninggalkan camp Lautan Pasir Bromo sekitar pukul 17.00 WIB. Lautan Pasir Bromo dulu-nya adalah sebuah kaldera yang cukup besar, dimana Masyarakat Bromo Tengger menganggapnya sebagai anugrah Hyang Widi. Hampir seratus persen permukaannya adalah pasir gunung berapi. Hari mendung, bahkan di sebelah barat atau tepat di depan kami, kabut putih tebal menggayut. Mungkin di depan sana hujan sudah turun. Backpack telah diisi minuman dan makanan ringan, cukup untuk perjalanan sekitar 4 jam. Tapi sengaja bekal Saya lebihkan, siapa tahu baru sampai kembali di camp keesokan harinya. Juga toolset dan pompa mini sudah tertata rapi di dalam backpack.

Jarum pengukur suhu menujukkan angka 12 derajat celcius ketika meninggalkan camp, jadi cukup dingin. Jaket, balaclava, dan headlamp sudah dipakai sejak awal. Teman-teman yang lain saat itu hanya berdiri saja penuh perhatian sejak melakukan persiapan hingga meninggalkan camp, mereka cukup sibuk mengerjakan banyak hal saat itu.

Belum setengah jam, hari sudah mulai gelap, headlamp mulai dihidupkan, sinarnya perlahan memendar ke badan jalan, memberikan harapan yang pasti. Jalanan saat itu basah sehingga pasirnya cukup padat, roda sepeda jadinya tidak terlalu melesak ke dalam pasir, lumayan sedikit meringankan kayuhan. Mengayuh sepeda di atas pasir memang membutuhkan usaha yang lebih besar dibanding jalanan aspal. Posisi tubuh harus seimbang, usahakan kemudi-nya lurus dan cari permukaan pasir yang masih utuh. Itu saja tip yang kami gunakan sepanjang perjalanan.

Oksigen terasa semakin tipis, tarikan napas menjadi lebih kerap saling menyusul. Dan pada 1 jam perjalanan pertama adalah masa dimana tubuh bekerja keras menyesuaikan diri dengan kondisi lapangan. Suhu tubuh, pupil mata, respon motorik dan pompaan paru-paru bahu membahu meng-up-date tubuh hingga sampai pada kondisi yang disebut second wind, atau kondisi dimana tubuh mampu memberikan respon prima terhadap kondisi di luar.

Gunung Bromo dan Gunung Batok di sebelah kiri, Cemoro Lawang dan Pananjakan di sebelah kanan, seperti menjadi marka jalan. Keduanya hitam kelam membujur dari timur ke barat. Samar-samar Pura (tempat ibadah) juga mulai nampak di kaki Gunung Batok, makin dekat makin jelas. Kami menyempatkan berhenti di sekitar Pura, tubuh mulai terasa lebih panas, keringat mengalir deras. Air mineral sedingin es membasahi tenggorokan, berlomba mendinginkan tubuh. Saya coba lepas balaclava, wuih…. rasanya dingin sekali, dan tak lama kepala menjadi sakit. “Wah something wrong”, Saya pikir, “am I too old for these?”, “Ah … engga lah bro, you’re just 31, younger than Roro Anteng”, begitu invisible dialogue Saya. Balaclava saya kenakan lagi, sakitpun hilang. Kurang lebih 10 menit kami break, kemudian perjalanan dilanjutkan kembali.

Dari sini penerangan hanya mengandalkan sinar headlamp. Dan dari sini pula perjalanan mulai menanjak, drop mulai banyak, dimana sebagian besar adalah aliran air kala hujan. Maka tak ayal lagi jatuh bangun menjadi hal yang biasa. Usaha harus lebih keras karena keterbatasan sinar headlamp. Jalanan yang kami kira datar, ternyata bekas kubangan air, dan selanjutnya sudah pasti.….., jatuh bertubrukan, menumpuk jadi satu, he.. he…. “Ya…begitulah kalo ber-adventure” kata Kang Cengos. “Harus selalu expect the unexpected”. Bijak sekali Kang Cengos, saat itu menjunjukkan pukul 18.30 WIB lewat sedikit, tanggal 7 Desember 2005, saat dimana Kang Cengos bijak.

Untuk menghindari tabrakan beruntun dan menumpuk menjadi satu yang tidak lucu, akhirnya kami buat kesepakatan. Setiap orang bergantian menempati posisi depan, kedua, ketiga dan paling belakang. Jarakpun disepakati tidak boleh terlalu dekat, selalu memberitahukan kondisi jalanan di depan, apakah drop, kubangan air, saluran air atau jurang. Walhasil sepanjang jalanan jadinya ribut dengan teriakan, “drop…!”, “awas lubang…”, “awas batu”, “juraaaaaanggg….!!, “pohon…”. Lumayan suasananya jadi tidak mencekam. Mencekam?, ya memang mencekam, bagaimana tidak mencekam, jalanan gelap gulita, diselimuti kabut tebal, jarak pandang kurang dari 5 meter. Sinar headlamp pada saat-saat tertentu tidak membantu apa-apa, karena yang tampak semuanya jadi putih, dan pasti menimbulkan keraguan; “am I on the right way? or heading to the valley?” pertanyaan itu selalu setia mendampingi.

Saya berdua Syafrizal rupanya dihinggapi paranoid yang sama pada beberapa etape perjalanan. Biasanya muncul saat leading, pandangan menjadi bermacam-macam, kadang batu cadas yang berwarna putih seperti bergerak menghampiri, atau menutupi jalanan, pohon seperti orang berdiri, dan saat itu sudah pasti sepeda langsung di-rem lalu tengak-tengok ke belakang sambil: “Cuuyy…!, hkkh..glekk..” agak tersendat “Dimana lu..???”, he…he…, takut niyeeee…. Selain itu kita juga bertugas menyibak tabir-tabir misteri (iya dong…, kita tidak tahu di depan seperti apa dan ada apa, hi..hi..), menginformasikan kondisi jalan pada orang kedua, orang kedua estafet ke orang ketiga dan seterusnya. Sialnya beberapa informasi yang diberikan dengan penuh keberanian jarang terpakai, karena Sang Leader cenderung break dari rombongan di belakangnya, dan ia tidak menyadarinya, tahu-tahu sudah berjalan jauh. Sang Leader berteriak, Sang Leader bercerita…, tentunya ya… dalam kesendirian.

Yang menyenangkan…., adalah saat dimana kami break, makan snack, minum air yang sejuk, dan tentunya, sebatang dua batang rokok yang diselingi obrolan-obrolan konyol. Obrolan yang tak pernah basi dan selalu menyegarkan. Dua batang rokok kadang tidak cukup. Kebetulan tim kami sebagian besar suka merokok, kecuali Sutedi. Jika ia kurang pandai mengikuti irama kami bersenda gurau pastilah kedinginan sendiri, untungnya Sutedi selalu punya aktivitas di saat istirahat yang membuat badannya agak hangat. Yaitu ajakannya yang terus menerus untuk segera melanjutkan perjalanan, sementara kami baru saja menyalakan rokok yang ketiga.

Dalam perjalanan kami sempat berpapasan dengan rombongan off roader lokal, entah dari mana dan mau kemana, kami hanya mampu saling menduga dalam kegelapan. Mungkin para off roader men-cap kami dan bergumam seperti ini: “Wah… ini pasti para petualang sejati”. Sementara yang terlintas dalam benak Saya, “Oh… Mereka kerja keras banting tulang demi anak istrinya, betapa mulia”. “Bumi dan langit bedanya”, “Gua ????, just for fun and a piece of story for my kids, later”.

Pukul 20.00 WIB kami sampai kembali di camp. Rasanya gagah sekali. Harapannya teman-teman yang ada di camp menyambut. Berdiri berjajar di pintu masuk, sambil memberikan tepuk tangan hangat. Peluk cium yang diharapkan. Tapi rupanya teman-teman yang ada di camp sama saja seperti semula ketika kami berangkat. Mereka sibuk, hanya sesungging senyum saja yang kami dapatkan. Dan mereka bergumam dalam hatinya masing-masing: “Enak lu bisa jalan-jalan, sementara gue, boro-boro bisa jalan-jalan, bernapas saja gua nyolong-nyolong”, itu komentar yang sangat egosentris. “Wah sok luh…, jalan-jalan malem, kalo nyasar, gue juga yang repot nge-sar”, itu temen yang setia sekali. “Wah Bapak si rambut merah api itu, ternyata petualang sejati”, ini komentar yang sejajar dengan para off roader lokal.

Terima kasih Tuhan, Bromo, Batok, Widodaren, Watangan, Kursi, Lautan Pasir Bromo, kau berikan pengalaman yang menyegarkan di akhir tahun ini. Terima kasih kawan-kawan telah memberikan invisible dialogue-nya sangat berarti buat Saya.

Sampai ketemu lagi di medan perang berikutnya, perang-lah yang mengasah kita.

Durentiga Barat, 29 Desember 2005

BERANI APA TIDAK HAH?

Keberanian selalu saja dibutuhkan dalam setiap pentas kehidupan apapun. Kita menyelami sebuah sekuel hidup, topik yang mengaduk-aduk intelektualitas, emosionalitas atau yang paling sederhana sekalipun yaitu kita dihinggapi rasa “khawatir”, misalnya, ujung-ujungnya keberanian untuk melanjutkan kisah tersebut menjadi modal kita. Tak akan pernah selesai suatu keajaiban berdiri, jika keberanian yang dimiliki surut di tengah jalan. Buntu saja pengalaman kita, Tugas perkembangan yang tidak pernah selesai, kuncup terus atau membusuk dengan nyaman, merupakan sebagian besar nasib apapun yang sungai keberaniannya kering.

Keberanian itu pintu untuk masuk atau keluar dari sebuah ruangan yang lebih sering tidak nyaman tapi menjaminkan sebuah nilai hidup yang luar biasa.

Memilih jadi cacing atau naga atau apapun pilihannya bukan sekedar basa-basi karena tak ada pilihan, walaupun kita tidak memilihpun merupakan satu pilihan yang tetap membutuhkan keberanian.

Sebuah sayembara untuk khalayak muda yang berkeinginan menjadi pop star di salah satu televisi swasta, animonya luar biasa. Banyak anak-anak muda yang memiliki keberanian untuk meninggalkan wilayah amannya menembus sesuatu yang bagi sebagian besar manusia muda menakutkan atau bisa-bisa menjerumuskan atau menaruh jelaga di muka sendiri. Luar biasa anak-anak itu, impiannya sungguh tinggi walau mereka bilang tidak tinggi. But who knows? Kenapa mereka bilang tidak tinggi, lagi-lagi dalam melanjutkan sekuel hidup kita butuh keberanian untuk menyatakan sesuatu.

Show not only must go on! 23-11-04

Perjalanan Dua


Anaku… sekarang kamu ada dipelukku, kita bertemu, kita ada dalam harmoni, seperti yang dulu bapak bilang, akan datang silih berganti.

Melihatmu kembali nak…,tak kuasa bapak membendungnya, jatuh air mata ini, untuk kebahagiaan tentunya, untuk syukur yang tak akan pernah bapak putuskan.

Perjalanan ini melewatkan wangi yang biasa hadir, hangat yang biasa lekat, dekap yang biasa dekat, begitu terasa hal-hal itu kala berjarak, dan… tidak sederhana lagi. Semua yang kalis jadi puitis. Tak akan kubuat itu jadi biasa, kubuat itu jadi sarat makna saat ini juga.

Nak…, betapa para pejalan pendahulu itu sanggup menembus hilang dengan ada, gulita dengan benderang..., dan kita akan terbiasa…

Hidup di atas opini

hidup di atas opini atau hidup menurut isme-konstruktive seperti dijelaskan banyak tukang teori itu terasa adanya. saya mengalaminya dengan jelas, hitam dan putih...

contoh kecil;
di sini, saya gandrung dengan gadget... walopun yang saya punya biasa aja, angkatan jadul..., keren pada jamannya saja. demikian juga pasar bicara bahwa gadget di sini sangat high end... sangat diminati, sangat diburu, bahkan pada kejadian terakhir di EX sampai bikin heran dan malu hati... demi hp 99 ribu itu... sementara di negeri dimana gadget2 itu ditemukan pada awal sekali, popularitasnya biasa-biasa saja, bahkan kini banyak dihindari dengan berbagai alasan

di sana, tidak tuh... hanya segelintir orang saja yang di-saku atau di tas-nya ada gadget, bisa dibilang ga populer..., kalopun ada hanya sekedar menempatkan fungsi saja, tidak wah sama sekali...

kemudian saya jadi lebih bersyukur... punya isme-konstruktive sendiri... bukan seperti mereka atau menurut mereka... tapi menurut saya...

graha bunga,
8 desember 2009

Bahagia


Melihat ia menggendong Almeera betapa bahagia dan syukurnya hati ini… dulu sempat terbersit betapa jauh, sulit dan akan panjang perjalanan untuk memperoleh kepercayaan ini, hanya setitik saja harapan itu, namun terus melambai, mengajak kami mengejarnya. Sampai pada titik tertentu, ketika kami hampir letih, ketika titik harapan itu samar, ketika kami sempat berkata dalam hati masing-masing bahwa biarlah Tuhan memutuskan cerita lanjutannya, dan Tuhan-pun memberikan kepercayaan ini. Kami bahagia, kami bersyukur, kami jadi mengerti.

Terimakasih atas anugrah-Mu dan kepercayaan-Mu, bimbing kami mendidiknya, amin!

Kaki Gunung Cikuray, 25 Desember 2009

Perlu Otak Kanan Untuk Menikmati Karratha


Malam ini Karratha sejuk, suhu di luar, ada di angka 27.6°C dengan kecepatan angin 37km/jam, dan menurut ramalan cuaca suhu akan turun hingga 25°C di malam hari.

Tidak seperti biasanya, angin malam ini sejuk. Sementara di malam-malam sebelumnya, angin saja panas, apalagi mataharinya, bikin megap-megap. Terbayang teman-teman lain yang menghabiskan bulan puasa di sini beberapa bulan lalu, huh... pasti perlu kesabaran yang lebih dari biasanya.

Oh ya dimanakah Karratha itu? Mungkin tidak banyak yang tahu. Sebagian warga di Australia, kalo disebutkan Karratha umumnya bilang: “kamu pasti meleleh disana”, hahahaha…. “. Nah Karratha sendiri ada di utara Perth atau di barat daya Darwin. Perlu waktu 2 jam perjalanan lewat udara dari Perth atau 22 jam jalan darat.

Orang-orang bilang, tidak banyak hal yang bisa dilakukan disini, dan rupanya setelah saya perhatikan memang begitu adanya. Pendapat ini benar tentunya, jika berharap bahwa Karratha sama dengan kota-kota lain di Australia misalnya Perth, yang gemerlap di malam hari, hiruk pikuk penuh dengan orang yang berwisata atau berbelanja.

Tempat saya tinggal kurang lebih 5 menit berkendara dari kota. Kota? Ya Kota, tapi jangan bayangkan kota besar, hanya butuh kurang dari 5 menit untuk melewati panjangnya barisan kota dengan berjalan kaki. Tapi walaupun kecil cukup lengkap, ada 1 supermarket, ada 2 bank, 1 kantor polisi, 1 kantor pos, 1 rumah sakit, 1 kantor pengadilan, 1 kolam renang umum, 1 bandara, 1 tempat sewa DVD/VCD, beberapa hotel biasa tapi harganya luar biasa mahal, 1 komplek sekolah, 1 college yang mahasiswanya mungkin kurang dari 10, 1 tourist center, apalagi yah? Pokoknya jumlahnya kalau tidak 1 ya 2.

Bicara rumah, nah ini mestinya agak mending, rumah yang saya tinggali ini menghadap Nickol Bay, dimana ujung dari teluk ini berbaring dari utara ke selatan, sebuah tanjung yaitu Burrup Peninsula. Menghadap teluk? mestinya indah dong, tapi tidak. Karena tinggi rumah kami hampir sejajar dengan permukaan laut, mungkin hanya beda 1 meter mdpl, jadi ya biru-nya teluk itu tidak kelihatan, karena tertutup oleh ilalang atau belukar yang tingginya kurang lebih 1 meter, praktis yang kelihatan cuma Burrup Peninsula yang berbaring hitam di malam hari, atau merah karena bijih besi di siang hari. Butuh tempat yang lebih tinggi beberapa meter untuk menikmati indahnya Karratha.

Jadi, kalau ingin menikmati Karratha, ya memang perlu cara lain, ga bisa dengan cara biasa. Perlu sedikit sentuhan otak kanan. Orang-orang sini, punya hiburan yang menurut teman-teman Indonesia gak ada menarik-menariknya. Namanya Staircase to The Moon, kira-kira begini deskripsinya (menurut warga sini tentunya): ”is an illusion created by full moon rising over mudflat on a low tide. The effect is breathtaking and create illusion of a staircase leading to the moon”. Saya langsung senyum-senyum sendiri, inilah cara lain untuk menikmati Karratha. Menurut teman, pada tanggal-tanggal tertentu, orang-orang berduyun-duyun, bahkan ada yang pake bis segala, semua menuju ke Hearson’s Cove atau Cossak, duduk-duduk dipinggir pantai sambil minum, trus ngeliatin bulan, gila kali.. hahahhah…..

Saya sendiri malam ini duduk di depan rumah menghadap Nickol Bay dan Burrup Peninsula. Segelas teh panas menemani. Perut sudah penuh dengan steak buatan temen. Tidak pernah sebelumnya duduk di situ, karena anginnya panas. Tapi malam ini tidak.

Pandangan saya jatuh di Burrup Peninsula yang terbaring nyenyak, ditiup angin semilir dipayungi rembulan. Pandangan ini sesekali terganggu oleh lalu lintas pesawat yang mendarat di selatan Nickol Bay. Tapi makin malam, pesawatpun sepi. Terbayang dulu di sana, para penduruk lokal (baca: Aborigin) melukis batu-batu itu, mungkin sambil bersenda gurau diterpa angin dan rembulan. Lebih dari 700 situs arkeologis tersimpan di sana, dan lebih dari 10.000 lukisan batu (petroglyphs), menurut Heritage Council of Western Australia pada Juli 2007. Sebelum kedatangan orang-orang dari Eropa, diduga memang tanjung ini telah dihuni penduduk lokal sejak 30.000 tahun lalu.

Terbayang para penduduk lokal, terbayang pula Henry Thomas Wood Burrup, pria kelahiran tahun 1861 di Longford, Gloucester, Inggris. Seorang anak muda yang mengembara ke Australia. Dia juga seorang akuntan muda brilian dari Union Bank yang dipindah ke Roebourne dari Perth. Ia muda dan populer namun terbunuh secara misterius di kantornya sendiri, Union Bank Roebourne, tidak jauh dari Karratha. Dan nama Burrup Peninsula, diambil dari nama sang akuntan tersebut, sebagai penghargaan atas dedikasinya dari pemerintah setempat.

Tulisan ini adalah cara saya menikmati Karratha, karena tidak mau saya menikmati Staircase to The Moon seperti warga sini, apalagi ketahuan temen-temen Indonesia, hahahaha....

21:06, 26 Januari 2010
Karratha, Western Australia

sumber:
www.pilbaracoast.com
www.roebournebankmurders.com
www.weathterzone.com.au

note:
tulisan ini untuk Almeera anakku, yang saat ini lagi demam, istriku yang lagi menemani Almeera, kuat!

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails