Saturday, January 30, 2010

Apa itu belajar sendiri?

Jalan Setapak
Kita sering dihadapkan dengan suatu kondisi dimana kita benar-benar harus memuaskan rasa ingin tahu sendiri dengan segala kemampuan yang minimal. Lingkungan sekitar sebenarnya memungkinkan untuk memenuhi rasa ingin tahu tersebut, tapi kadang-kadang kita juga mengharapkan ada orang lain yang mau ngajarin, ingin sesekali tahu bagaimana seseorang tersebut ngajarain atau men-encourage kita, sehingga tahu banyak hal-hal lain di luar lingkungan kita sendiri. Hal tersebut sangat wajar terjadi, apalagi kita dan nenek moyang sempat dibesarkan dengan “disuapin dan dibohongin” selama 350 tahun oleh kolonial plus 32 tahun oleh orba. Kemudian adakah cara lain sehingga rasa ingin tahu kita bisa terpenuhi tanpa harus disuapin seperti para nenek moyang kita waktu lalu?, apa yang harus kita lakukan?

Jalan Pilihan Siapa Yang Mau?
Ada beberapa pepatah yang mungkin bisa kita jadikan inspirasi:

The thousand miles of journey begins with your single step”
Tao Leaderhip

“Aku tidak akan mati di atas kelemahanku”
Ahmad Haerunman, Peserta Senior Cabin Crew Adventure Training Garuda Indonesia

“Tidak ada prajurit yang terlatih, tapi yang ada adalah prajurit yang terus berlatih (belajar)”
Iwan Abdulrahman, diperoleh dari beberapa pengalaman temannya

“Aku adalah retak yang direkat oleh sekelilingku”
Radhar Panca Dahana

Pepatah pertama memberikan gambaran bahwa sebuah perjalanan yang panjang atau pendek sekalipun harus diawali dengan satu langkah pertama baru kemudian kedua, ketiga dan seterusnya, langkah ini bisa berarti langkah kita secara fisik atau niat dalam hati. Langkah ini pula yang akan tetap bergelora atau bertahan jika muncul dari kesadaran diri sendiri, come from our deep inside, hasil bengang-bengong, hasil perenungan yang serius atau muncul begitu saja saat kita duduk nyaman di closet duduk. Lantas bagaimana memunculkan niat atau langkah pertamanya?, tidak pernah ada satu formula-pun yang baku, yang sanggup memandu kita memunculkan hal tersebut di atas, tapi akan sangat tergantung dengan pengalaman hidup kita sebelumnya dan tentu saja pola pikir atau tempat berpijak kita sebelumnya. Hanya kita atau si individu saja yang tahu persis bagaimana memunculkannya.

Saat kita menemukan cara bagaimana memunculkannya, maka hal tersebut tidak akan selesai pula hanya dengan menjalankannya, mungkin akan ditemui hal-hal yang sifatnya muncul dari dalam diri sendiri dan dari luar diri kita yang merintangi usaha tersebut. Kita akan merasa terjebak secara fisik dan mental dengan rutinitas dan keterbatasan yang lambat laun memenjarakan hati dan pikiran kita. Maka dunia menjadi hambar, berjalan tanpa nyawa, tak ada emosi, yang ada hanya rasa frustasi, pandangan yang sempit dan hanya bangga kepada diri sendiri yang semu. Secara tidak sadar hal tersebut kita pupuk, kita pelihara dengan cara menjadikannya sebagai pelindung dan alasan untuk tidak mencari dan terus mencari. Ingatkah apa yang ditakutkan sebagian besar ahli sufi (basicly adventurer), mereka tidak pernah takut untuk mati, tapi mereka takut jika sepenuh hidupnya tidak bisa “mencari”.

Ahmad Haerunman salah seorang peserta adventure training menghadapi kenyataan birokrasi yang rumit untuk mengubah dan mengembangkan diri dan lembaga-nya, butuh waktu yang sangat panjang untuk merubuhkan tembok yang dianggapnya menjadi dinding penjara bagi dirinya dan sebagian besar teman-temannya untuk berkembang. Seorang Ahmad Haerunman hanya seorang pekerja yang jika dilihat sepintas sama saja dengan yang lainnya, teman-temannya, tapi ada yang berbeda dalam dirinya dibanding yang lain, apakah itu?, Dia tidak pernah mau berhenti berusaha dan belajar, paling tidak untuk melawan penjara hati untuk dirinya sendiri. Kita perlu bangga padanya pada jaman seperti ini, yang hedonis.

Iwan Abdulrahman pernah mengingatkan kita bahwa tidak ada prajurit terlatih tapi yang ada adalah prajurit yang terus berlatih atau belajar dari waktu ke waktu tanpa berhenti. Tinggal maukah kita memaknai setiap latihan, setiap turunnya kita menjadi bagian dari pelatihan, setiap rasa yang kita terima dan coba berikan saat rasa haus menjadi lega di dalam perjalanan.

Yang terakhir, Radhar Pancha Dahana mengingatkan kita pada interdepensi, kesalingtergantungan kita dengan lingkungan dan orang-orang sekitar. Kita memang tak lebih dari sebuah “retak” yang direkat oleh sekelilingnya, tak lebih dari itu, maka ingatlah jika kita coba memungkirinya. Kita pasti tahu apa yang selanjutnya akan menimpa, bukan?

18-03-02, Sang Kodok

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails