Saturday, January 30, 2010

Mountain Biking, Mengelilingi 5 Gunung di Malam Hari

Kami berlima saat itu; Saya, Bung Syafrizal, Kang Dodi dan sepupunya yaitu Markum dan biker handal dari Jatiluhur, Sutedi meninggalkan camp Lautan Pasir Bromo sekitar pukul 17.00 WIB. Lautan Pasir Bromo dulu-nya adalah sebuah kaldera yang cukup besar, dimana Masyarakat Bromo Tengger menganggapnya sebagai anugrah Hyang Widi. Hampir seratus persen permukaannya adalah pasir gunung berapi. Hari mendung, bahkan di sebelah barat atau tepat di depan kami, kabut putih tebal menggayut. Mungkin di depan sana hujan sudah turun. Backpack telah diisi minuman dan makanan ringan, cukup untuk perjalanan sekitar 4 jam. Tapi sengaja bekal Saya lebihkan, siapa tahu baru sampai kembali di camp keesokan harinya. Juga toolset dan pompa mini sudah tertata rapi di dalam backpack.

Jarum pengukur suhu menujukkan angka 12 derajat celcius ketika meninggalkan camp, jadi cukup dingin. Jaket, balaclava, dan headlamp sudah dipakai sejak awal. Teman-teman yang lain saat itu hanya berdiri saja penuh perhatian sejak melakukan persiapan hingga meninggalkan camp, mereka cukup sibuk mengerjakan banyak hal saat itu.

Belum setengah jam, hari sudah mulai gelap, headlamp mulai dihidupkan, sinarnya perlahan memendar ke badan jalan, memberikan harapan yang pasti. Jalanan saat itu basah sehingga pasirnya cukup padat, roda sepeda jadinya tidak terlalu melesak ke dalam pasir, lumayan sedikit meringankan kayuhan. Mengayuh sepeda di atas pasir memang membutuhkan usaha yang lebih besar dibanding jalanan aspal. Posisi tubuh harus seimbang, usahakan kemudi-nya lurus dan cari permukaan pasir yang masih utuh. Itu saja tip yang kami gunakan sepanjang perjalanan.

Oksigen terasa semakin tipis, tarikan napas menjadi lebih kerap saling menyusul. Dan pada 1 jam perjalanan pertama adalah masa dimana tubuh bekerja keras menyesuaikan diri dengan kondisi lapangan. Suhu tubuh, pupil mata, respon motorik dan pompaan paru-paru bahu membahu meng-up-date tubuh hingga sampai pada kondisi yang disebut second wind, atau kondisi dimana tubuh mampu memberikan respon prima terhadap kondisi di luar.

Gunung Bromo dan Gunung Batok di sebelah kiri, Cemoro Lawang dan Pananjakan di sebelah kanan, seperti menjadi marka jalan. Keduanya hitam kelam membujur dari timur ke barat. Samar-samar Pura (tempat ibadah) juga mulai nampak di kaki Gunung Batok, makin dekat makin jelas. Kami menyempatkan berhenti di sekitar Pura, tubuh mulai terasa lebih panas, keringat mengalir deras. Air mineral sedingin es membasahi tenggorokan, berlomba mendinginkan tubuh. Saya coba lepas balaclava, wuih…. rasanya dingin sekali, dan tak lama kepala menjadi sakit. “Wah something wrong”, Saya pikir, “am I too old for these?”, “Ah … engga lah bro, you’re just 31, younger than Roro Anteng”, begitu invisible dialogue Saya. Balaclava saya kenakan lagi, sakitpun hilang. Kurang lebih 10 menit kami break, kemudian perjalanan dilanjutkan kembali.

Dari sini penerangan hanya mengandalkan sinar headlamp. Dan dari sini pula perjalanan mulai menanjak, drop mulai banyak, dimana sebagian besar adalah aliran air kala hujan. Maka tak ayal lagi jatuh bangun menjadi hal yang biasa. Usaha harus lebih keras karena keterbatasan sinar headlamp. Jalanan yang kami kira datar, ternyata bekas kubangan air, dan selanjutnya sudah pasti.….., jatuh bertubrukan, menumpuk jadi satu, he.. he…. “Ya…begitulah kalo ber-adventure” kata Kang Cengos. “Harus selalu expect the unexpected”. Bijak sekali Kang Cengos, saat itu menjunjukkan pukul 18.30 WIB lewat sedikit, tanggal 7 Desember 2005, saat dimana Kang Cengos bijak.

Untuk menghindari tabrakan beruntun dan menumpuk menjadi satu yang tidak lucu, akhirnya kami buat kesepakatan. Setiap orang bergantian menempati posisi depan, kedua, ketiga dan paling belakang. Jarakpun disepakati tidak boleh terlalu dekat, selalu memberitahukan kondisi jalanan di depan, apakah drop, kubangan air, saluran air atau jurang. Walhasil sepanjang jalanan jadinya ribut dengan teriakan, “drop…!”, “awas lubang…”, “awas batu”, “juraaaaaanggg….!!, “pohon…”. Lumayan suasananya jadi tidak mencekam. Mencekam?, ya memang mencekam, bagaimana tidak mencekam, jalanan gelap gulita, diselimuti kabut tebal, jarak pandang kurang dari 5 meter. Sinar headlamp pada saat-saat tertentu tidak membantu apa-apa, karena yang tampak semuanya jadi putih, dan pasti menimbulkan keraguan; “am I on the right way? or heading to the valley?” pertanyaan itu selalu setia mendampingi.

Saya berdua Syafrizal rupanya dihinggapi paranoid yang sama pada beberapa etape perjalanan. Biasanya muncul saat leading, pandangan menjadi bermacam-macam, kadang batu cadas yang berwarna putih seperti bergerak menghampiri, atau menutupi jalanan, pohon seperti orang berdiri, dan saat itu sudah pasti sepeda langsung di-rem lalu tengak-tengok ke belakang sambil: “Cuuyy…!, hkkh..glekk..” agak tersendat “Dimana lu..???”, he…he…, takut niyeeee…. Selain itu kita juga bertugas menyibak tabir-tabir misteri (iya dong…, kita tidak tahu di depan seperti apa dan ada apa, hi..hi..), menginformasikan kondisi jalan pada orang kedua, orang kedua estafet ke orang ketiga dan seterusnya. Sialnya beberapa informasi yang diberikan dengan penuh keberanian jarang terpakai, karena Sang Leader cenderung break dari rombongan di belakangnya, dan ia tidak menyadarinya, tahu-tahu sudah berjalan jauh. Sang Leader berteriak, Sang Leader bercerita…, tentunya ya… dalam kesendirian.

Yang menyenangkan…., adalah saat dimana kami break, makan snack, minum air yang sejuk, dan tentunya, sebatang dua batang rokok yang diselingi obrolan-obrolan konyol. Obrolan yang tak pernah basi dan selalu menyegarkan. Dua batang rokok kadang tidak cukup. Kebetulan tim kami sebagian besar suka merokok, kecuali Sutedi. Jika ia kurang pandai mengikuti irama kami bersenda gurau pastilah kedinginan sendiri, untungnya Sutedi selalu punya aktivitas di saat istirahat yang membuat badannya agak hangat. Yaitu ajakannya yang terus menerus untuk segera melanjutkan perjalanan, sementara kami baru saja menyalakan rokok yang ketiga.

Dalam perjalanan kami sempat berpapasan dengan rombongan off roader lokal, entah dari mana dan mau kemana, kami hanya mampu saling menduga dalam kegelapan. Mungkin para off roader men-cap kami dan bergumam seperti ini: “Wah… ini pasti para petualang sejati”. Sementara yang terlintas dalam benak Saya, “Oh… Mereka kerja keras banting tulang demi anak istrinya, betapa mulia”. “Bumi dan langit bedanya”, “Gua ????, just for fun and a piece of story for my kids, later”.

Pukul 20.00 WIB kami sampai kembali di camp. Rasanya gagah sekali. Harapannya teman-teman yang ada di camp menyambut. Berdiri berjajar di pintu masuk, sambil memberikan tepuk tangan hangat. Peluk cium yang diharapkan. Tapi rupanya teman-teman yang ada di camp sama saja seperti semula ketika kami berangkat. Mereka sibuk, hanya sesungging senyum saja yang kami dapatkan. Dan mereka bergumam dalam hatinya masing-masing: “Enak lu bisa jalan-jalan, sementara gue, boro-boro bisa jalan-jalan, bernapas saja gua nyolong-nyolong”, itu komentar yang sangat egosentris. “Wah sok luh…, jalan-jalan malem, kalo nyasar, gue juga yang repot nge-sar”, itu temen yang setia sekali. “Wah Bapak si rambut merah api itu, ternyata petualang sejati”, ini komentar yang sejajar dengan para off roader lokal.

Terima kasih Tuhan, Bromo, Batok, Widodaren, Watangan, Kursi, Lautan Pasir Bromo, kau berikan pengalaman yang menyegarkan di akhir tahun ini. Terima kasih kawan-kawan telah memberikan invisible dialogue-nya sangat berarti buat Saya.

Sampai ketemu lagi di medan perang berikutnya, perang-lah yang mengasah kita.

Durentiga Barat, 29 Desember 2005

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails