Saturday, January 30, 2010

bukan konser musik, tapi pertemuan sahabat

Tadi malam di Bentara Budaya Kompas tampil seorang budayawan, pengelana, penggubah lagu, dan sekaligus pula seorang pencinta alam. Ia lahir di tatar Sunda. Beberapa lagu gubahannya sangat terkenal dan begitu merdu disenandungkan. Khususnya oleh orang-orang yang saat ini menginjak usia paruh baya mungkin bait demi bait dapat dilagukannya dengan mudah. Diantaranya Bunga Flamboyan, Melati Dari Jayagiri, Burung Camar dan Mars Unpad. Ia bilang penggubah, karena memang Ia menggubah dari catatan-catatan perjalanan berkelananya sepanjang hidup hingga menjadi lagu. “Pencipta hanya melekat pada Yang Maha Kuasa”, begitu selorohnya merendah.

Sudah lama saya mendengar namanya, sudah sering pula saya menyenandungkan lagu-lagunya, sudah sering pula saya mendengar cerita-ceritanya, namun baru tadi malam bisa beratap muka langsung, bersalaman yang unik, menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dengan khidmat dan menyenandungkan Lagu Syukur H. Mutahar. Sangat megah nan syahdu.

Bagi saya interaksi tersebut merupakan sebuah Oase di sebuah kota metropolis, walaupun Sang Pelagu menyampaikannya dengan selingan bercanda khas orang-orang dari tatar Sunda yang membuat suasana syahdu bergantian dengan kesegaran.

Malam itu Bentara Budaya seperti bukan di Jakarta, sinar yang redup dalam ruangan, hawa yang sejuk, formasi duduk berbentuk setengah lingkaran, penuh keakraban, penuh kehangatan. Apalagi saat Sang Pelagu bilang: “anggap saja di depan kita ada sebuah api unggun, dan kita melingkarinya”, suasana menjadi seperti di sebuah kaki gunung.

Lagu-lagunya bercerita tentang harapan, cinta dan teguran reflektif bagi siapapun yang mendengarnya.

Ketika kita berhadapan dengan permasalahan hidup yang begitu berat, lagunya menggambarkan untuk tetap tabah. Sinar bintang di langit memang tidak sampai rasa hangatnya menyentuh kulit, tapi sinarnya adalah harapan sambil menunggu matahari esok terbit.

Ketika pohon randu,menjadi tua,kulitnya mengelupas kering dan mati, tak perlu berkecil hati, karena benihnya telah dibawa angin ke angkasa dan dijatuhkannya di bumi, dan randu-randu kecil akan tetap tumbuh.

Tentang mencintai alam Ia bercerita tentang menumbuhkan pohon, merawatnya, menyiraminya, menyayanginya dan belajarlah tentang kesabaran. Karena pohon tidak tumbuh tergesa-gesa.

Tentang sebuah keterampilan Ia mencontohkan seorang prajurit, seorang ksatria yang terus berlatih, karena menurutnya tidak ada prajurit yang terlatih, tapi prajurit yang terus berlatih.

Tentang kebugaran Ia mengingatkan bahwa, tubuh adalah amanah (titipan) dari Yang Di Atas, maka selayaknya kita untuk memeliharanya..

Tentang patriotisme Ia mengajak untuk sungguh-sungguh mensyukuri apa yang telah kita peroleh, bersyukur lahir di negeri ini, bersyukur lahir dan menjadi warga negeri ini. Jaman kolonialisme dulu jika mau masuk kolam renang ada tulisan “Anjing dan Inlander dilarang masuk”. Dan rasanya kita sudah tidak bisa menemukan tulisan itu lagi, maka selayaknya kita bersyukur.

Tentang semangat, belajar dari Matahari, inilah syair-syairnya:

Mentari
Mentari menyala di sini
Di sini di dalam hatiku
Gemuruh apinya di sini
Di sini di urat darahku
Meskipun tembok yang tinggi mengurungku
Berlapis pagar duri sekitarku
Tak satupun yang sanggup menghalangiku
Bernyala di dalam hatik
Hari ini hari milikku
Juga esok masih terbentang
Dan mentari kan tetap bernyala
Di sini di urat darahku

Banyak sekali yang jadi bahan renungan saya, tak semua bisa saya tuliskan. Mungkin juga ada yang salah, oleh sebab itu mohon maaf. Saya hanya ingin berbagi.

Sambil melagu, Sang Pelagu selalu menyelipkan dan memberikan cerita pengantar tentang lagu, tentang kondisi bangsa, tentang cerita di negeri Jepang, di sebuah taman di London, tentang orang tua-nya, tentang masa remajanya, tentang lagu-lagu Afrika, penyanyi Afrika Selatan dan dongeng-dongeng lain. Saya jadi teringat pula LF 28 tentang Meta4Change, cerita metaphore untuk pemberdayaan.

Demikian.

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails