Sunday, June 6, 2010

biduk linglung

pagi ini... kubangun sebentar...
sengaja jendela kubuka lebar2...
angin sejuk langsung menubruk rindu

aku lelap kembali...
menjelajah alam mimpi
ah... tapi burung terus bernyanyi
mengajak menari...
ia bilang laut lagi bagus...

aku terperanjat
ternyata perahuku lepas dari sauhnya...
aku bermimpi di atas perahu yang hanyut

tuluuuuunngggg...

Monday, February 15, 2010

Sekelumit jejak peradaban suku Jaburara, di Jaburara Heritage Trail, Karratha, Western Australia

Hari minggu kemaren saya bangun lebih dini dari biasanya, karena tak mau didului oleh sang matari di bukit itu, tak rela, setelah beberapa hari minggu terakhir keok. Dan... akhirnya matari bertekuk di minggu pagi kemaren. Ia masih merangkak di bawah, saya di atas.

Baru ingat bahwa hari tersebut adalah hari Valentine saat menulis cerita ini. Namun jika
ingatpun, tidak akan memberikan pengaruh apapun terhadap prespektif "kasih" saya. Kalo di hari tersebut saya menghadiahkan cerita sebagai tanda kasih, tentu hanya sebuah kebetulan saja, toh hari itu adalah hari minggu, dimana saya libur bekerja. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan hari Valentine, lupakan saja.

Cerita atau dongeng ini kira-kira begitu, seperti yang biasa saya hadiahkan kepadanya, pasti belum bisa dimengerti, jika di-harga-kan juga mungkin tidak ada harga-nya, priceless menurut saya, dan ia-pun juga belum mengenal kata harga atau satu kata sekalipun yang ada di bumi ini.
Minggu pagi itu, saya pacu mobil lebih cepat dari biasanya, didorong bahwa hari ini harus lebih dulu sampai di bukit itu. Parkir, kemudian setengah berlari menuju puncaknya. Aummmm... saya berteriak, perhatian saya hinggap di beberapa titik; kota kecil Karratha, saung permanen tempat berteduh, bukit-bukit berwana perak, matari, penunjuk jalan setapak, plat informasi, semak, batu, ular, kangguru, goana, spinifex, dan empat binatang terakhir itu tidak terlihat, namun pasti mereka ada di sekitar saya, di belukar.

Cerita ini dimulai dari visitor center Karratha..., memberikan pelayanan jasa bagi siapapun yang membutuhkan informasi sekitar Karratha atau wilayah The West Pilbara lebih umumnya. Saya memilih jalur hiking dimana berserakan peninggalan pra-sejarah kaum aborigin. Jaburara Heritage Trail, panjang kurang lebih 3,5 km, pendek sih. Bisa ditempuh kurang dari 1 jam jalan kaki biasa tanpa istirahat. Namun akan butuh lebih dari beberapa jam jika ingin mencari dan kemudian melihat lebih dekat karya2 orang aborigin masa lampau itu. Saya sendiri butuh sekitar 3 jam untuk mencari dan menikmatinya, mungkin kalau saya seorang arkeolog pasti lebih lama dari 3 jam, mugkin juga berulang-ulang datang lagi, mungkin juga saya menjadikannya ladang riset.

Jaburara Heritage Trail, adalah sekelumit peradaban yang ditinggalkan suku Jaburara, diucapkan Yabura, Yaburara oleh orang setempat. Diperkirakan jalur sepanjang 3,5 kilometer dengan radius wilayah 5 kilometer ini pernah dijadikan tempat berlindung, basis atau camp suku Jaburara. Di utara jalur ini terlihat jelas sebuah teluk, yang saat ini disebut dengan Nickol Bay dan Tanjung yang saat ini disebut Burrup Peninsula. Jarak ke teluk atau tanjung ini kurang lebih 3-5 kilometer, jadi tempat ini juga cocok dijadikan tempat istirahat, bermain, bercengkrama dan berkomunikasi melalui petroglyphs yang berserak sepanjang trail.

Begitu menginjakan kaki di titik start (barat visitor center), saya sudah disuguhkan dengan deretan batu merah yang nampak rapuh, tapi susunannya membuat hati bergumam: "mungkin di situ ada beberapa petrtoglyph". Namun jangan terkecoh, karena gambar petroglyph disamping tidak saya temukan di tempat yang sulit dijangkau, tapi selalu ada di tempat yang mudah dilihat, landai, dan memiliki pemandangan ke terbuka ke berbagai arah.

Petroglyph atau biasa juga disebut sebagai rock engravings , atau memindahkan sebagian permukaan batu dengan proses ukir, gores, pahat, atau kupas hingga menghasilkan rupa tertentu. Petroglyphs di samping umurnya (menurut brosur) berusia antara 5000-6000 tahun, tua sekali yah?... Ketika melihatnya lebih dekat, dugaan saya, karya ini melalui proses gores, beda dengan gambar di atas yang melalui proses pahat. Ini dugaan saya lho... bisa jadi juga salah...
Masih nampak jelas rupa dari karya ini untuk usia 5000-6000 tahun, kok bisa-nya bertahan sekian lama, padahal tempat ini tidak jauh dari pantai, dimana udaranya mengandung garam yang saya ketahui cepet menghancurkan benda apapun. Oh ya.., curah hujan sih disini rendah sekali, jadi mungkin aman juga dari gerusan air hujan.

Temen menuliskan komennya di facebook saya:

"
kebayang kalau gw semeleketek coret-coret batu sekarang.. apakah jejaknya masih ada 5000 sd 6000 tahun yang akan datang..:))",

saya :

"hahahaha... kan leluhur simeleketek juga hebat... tuh Borobudur salah satu jejaknya... ga akan ad lagi yg bisa niru... everlasting...,

temen :

"hahahha.... borobudur emang master piece..:) tapi borobudur baru di bangun abad ke 8 masehi.. jadi masih cukup imut kalau di banding yang ini.. :))"ItalicIya yah... berarti Borobudur usianya baru sekitar 2000 tahun, sanggupkah ia bertahan lebih lama? mudah2an.

Jalan menelusuri jalur purba ini memang perlu menyediakan waktu yang cukup, jangan takut dengan terik matahari, bawa air minum yang cukup, mind your hat, kacamata cengdem, siaga selalu karena beberap jalur curam dengan batuan rapuh. Siaga juga dengan binatang seperti ular, kadal, atau bahkan kangguru yang mungkin tiba2 menyeruak dari semak atau batuan tempat dia berteduh. Kangguru masih lebih bahaya dibanding dengan dingo, anjing liar sini. Kangguru itu biasa menendang manusia yang ada di sekitarnya, tendannganya jangan pernah spelekan, kalo tidak robek kulit, pasti jatuh tersungkur.

Cuaca disini panas sekali, tiap hari berkisar di angka 36-40 derajat celcius, jadi saran saya luangkan waktu pagi hari, lebih dini lebih bagus, misalnya jam 6 pagi sudah di titik start, jam 9 sudah kembali lagi di titik start. Pasti menyenangkan. Kalo hari minggu, mungkin akan berpapasan dengan beberapa warga sini yang sedang lari cross country. Hari biasa, bisa dipastikan hanya akan ada anda sendirian.

Nah sudah ada bekal kan untuk coba menelusuri jejak purba ini, kalo masih kurang, bantuan pasti menyertai siapapun anda.





Thursday, February 11, 2010

Avatar di Karratha

Avatar yang saya maksud adalah film Avatar yang dirilis bulan Desember 2009, garapan sutradara James Cameron si-kreatif itu. Dua jempol untuk James Cameron yang sabar menunggu perkembangan teknologi 3D maju beberapa langkah ke depan hingga film tersebut sesuai imajinasinya. Khusus untuk pencitraan kaum Na’vi, dan kehidupannya, serta segala flora-fauna-nya sungguh bikin saya beberapa kali bilang “hebat imaji si James (James Cameron) teh…, beginilah nih when science meet art”.

Keistimewaan film Avatar pasti sudah banyak dibahas di berbagai media. Sementara tulisan saya disini hanya ingin berbagi cerita saja bahwa ternyata nonton film bioskop di Karratha itu tidak bisa dilakukan setiap hari seperti di Jakarta atau tempat lain. Tempat saya nonton ini memang tepatnya bukan bioskop tapi teater. Habis memang studio bioskop ga ada di sini, dulu katanya sempet ada tapi bangkrut, ga tahu kenapa.

Walkington Theatre namanya, salah satu tempat orang-orang sini mendapatkan hiburan, entah pertunjukkan drama, opera, tari kontemporer atau tradisional, kursus teater, atau sekedar tempat menghabiskan waktu di perpustakaan yang cukup luas nyaman. Film Avatar sendiri diputar karena sedang liburan sekolah yang berakhir di minggu ini, jadi ya beruntunglah saya ada tontonan disela kerjaan yang super numpuk.

Film diputar jam 7.30 malem, saya berangkat dari rumah jam 7.00, biar santai, saya pikir. Jarak teater-rumah kurang lebih 2 km. Tapi rupanya baru sampai di parkiran..., parkiran sudah penuh, ehm... kayaknya bioskop juga udah penuh. Muter sekali cari-cari parkiran kosong..., dan ternyata tidak ada, akhirnya dapet parkiran yang agak jauh dikit. Begitu masuk loby teater ternyata sepi-sepi aja.... rupanya orang-orang sudah masuk semua. Amannya saya udah beli tiket 1 minggu sebelumnya jadi tetep tenang... Di pintu masuk, yang dijaga ibu-ibu sudah berumur, saya tanya tempat duduk, trus dijawab ini open sitting, bebas... waduh... bener saja tempat yang tersisa hanya ada di barisan paling depan, paling kiri dan paling kanan.

Akhirnya saya duduk di barisan paling kiri, terus... tengak-tengok bawah (depan) dan belakang (atas) sambil gumam: “ternyata banyak juga orang di Karratha kalo dikumpulin hahahhahaha....”. Iya Karratha memang sepi, luasnya kira-kira 15.197 km2 atau kurang lebih setengah luas dari Jawa Tengah, tapi hanya dihuni oleh 11.728 orang, yang tersebar ke beberapa wilayah kecil (suburb). Bandingkan dengan Jakarta dengan luas 661,52 km2 yang dihuni oleh kurang lebih 7,5 juta.

Pikiran saya malah maen-maen dengan hitungan di atas dan ini; kursi teater ada 434, jadi sekitar 3,7% warga Karratha malem ini kumpul bersama, nonton Avatar bersama heheheheh..... Kebayang kalo yang 3,7% ini diambil dari jumlah penduduk Jakarta...., pasti bukan banyak lagi.... tapi uakehhhh tenan... Tapi segini juga bagi saya udah cukup rame..., cukup terhibur, cukup seneng, cukup antusias menunggu detik-detik pemutaran film. Maka sambil nunggu jam 7 tepat saya ngobrol dengan temen sebelah.... pake bahasa Indonesia...., karena dengan orang Indonesia.... Isi obrolan itu ya berkisar pada:

  1. Aneh ya yang nonton kok pada pake kaos aja... yang mba-mba pake kaos buntung..., sementara kita jaketan... hahahah... dari pada kedinginan, film Avatar kan 3 jam, biarin lah....
  2. Gila... orang Karratha kota ngumpul semua disini, pasti di rumah-nya pada kosong hahahahahha....., kurang hiburan sih...
  3. Kasian orang-orang sini kurang hiburan (padahal saya juga heheheheh....)
  4. Temen saya bilang...., mudah-mudahan ada yang cakep duduk di sebelahku hahahha.... hampir ada tapi gak jadi...

Kemudian di tengah-tengah obrolan dengan topik tersebut di atas..., tiba-tiba dalam waktu sepersekian detik di saat saya lengah... temen sebelah saya ini ngobrol sama salah satu penonton di depannya persis... trus saya coba dengerin ternyata dia ngomong bahasa Indonesia.... cilaka...., trus saya tanya ngomong apa dia? katanya: ”Selamat Malam”, hahaha.... berarti dari tadi....????

Ya sudah akhirnya kami ngobrol beberapa menit sambil menunggu film diputar... dia bilang 20 tahun lalu sering maen ke Indonesia, Sumatra, Bali, Sulawesi, dimana disela obrolan itu kedua anaknya menimpali obrolan dan melihat kami. Obrolan yang singkat tapi menyenangkan, ternyata ada yang mengenal kami, barudak Indonesia. Kenikmatan antusiasme nonton bertambah sudah dengan adanya obrolan tadi, saya jadi senyum dalam hati, mungkin dia dari tadi dengerin, tapi biarinlah... hahahhahaha...., film sudah dimulai. Semua diam.

Karratha, 6-2-10
Western Australia

Saturday, January 30, 2010

Langit Tadi Sore

Tadi sore, langit itu semerah pipi-mu, merah malu merindu…
Di cakrawala lain…, bergantian awan merubah dirinya dari seekor angsa, boneka dan bunga, lalu kamu...
Dan aku disini, jadi ingat kamu…

10 November 2009
15 Rand St

Hembusmu sampai sini


Ah…., lelapmu, tangismu, senyummu, wangimu, rambutmu, matamu…, tak ada yang bisa menggantikannya. Aku jadi hidup. Tak sabar kuingin banyak menelusuri jalan ini bersamamu, dengan pertanyaan-pertanyaanmu, dengan kejutan-kejutanmu, dengan keluasanmu.

Peluh-keluh, lelah-patah, rindu-kelu, tak sanggup bertahan saat ku ingat kamu Al…, semuanya buyar berantakan terbang tak bersisa hanya dengan hembusmu. Ajaib.

Minggu 8 November 2009
Rand St 15

Ceritamu, Almeera Tsabitha Amadore Riswandi


Nak… nama ini bapak dan ibu pilihkan untuk kamu. Berbulan-bulan waktu mencari, bertanya, berdiskusi untuk menemukan nama yang membuat paling tidak bapak dan ibu tenang. Mudah-mudahan kelak ketika kamu mengerti, kamu akan suka. Yang pasti, nama ini doa untuk kamu, doa untuk kami. Dan tak kurang-kurangnya rasa cinta penuh damba menggelora di hati bapak dan ibu saat nama ini disepakati.

Bapak dan ibu juga sempat bertanya sama kakek-nenekmu, bahkan uyutmu… tapi saat pertanyaan dilontarkan semuanya termangu… memandang jauh ke depan, tidak ada jawaban, mungkin tidak siap dengan pertanyaan itu. Bapak hanya ingat betapa waktu itu nenekmu termangu melihat jauh ke depan, untuk kamu. Iya untuk cucu pertaman-nya yang sudah lama impikan.

Jelas terngiang sampai hari ini di telinga bapak, tangisan yang keras-begitu kamu diangkat dari rahim ibumu , sempet ragu bahkan, kamu-kah itu gerangan? Juga masih ingat, menunggu-mu di lorong bercat putih, duduk di kursi kayu bulat, tepat di depan ruang bedah. Hanya kalimah-kalimah menghamba yang sanggup bapak getarkan… lirih nak… hampir tak berbunyi … betapa menunggumu itu sebuah rasa yang bapak sendiri tidak tahu namanya… Dan begitu melihamu, memeluk-mu… bapak ini tak sanggup untuk tidak meneteskannya… jatuh sudah air mata ini.

Kita hanya berdua di ruang itu. Tentang ibu-mu, bapak sendiri lupa. Sama sekali lupa kondisinya seperti apa, maafkan ya Bu. Begitulah nak sesaknya relung bapak, saat itu Ibumu tersisihkan, tidak mendapat tempat. Tapi tahukah kamu, ibumu itu sangat perkasa, melebihi Bapakmu, kelak kamu akan tahu…

Anakku...


Nak… kita memang baru berjumpa hanya dalam hitungan hari, 3 hari cuma. Mata kamu-pun belum bisa melihat sempurna, bisa dipastikan kamu pun belum tahu aku, walaupun kamu juga adalah aku dan pada waktu yang sama aku adalah kamu. Pabaliut nya Nak… keun wae-lah…, karena Anakku, kamu kelak akan mengerti semua ini.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Anakku…, nasihat ini berlaku sama untukku tentunya, ruang itu ada hanya karena absen-nya jarak, waktu itu ada hanya karena absen-nya diam, kelak semua itu akan hadir bergantian, dan pada saat itu pula kita berjumpa ragawi.

Tidurlah kamu dengan tenang, bermainlah kamu dengan riang atau bahkan menangislah dengan keras… tak perlu khawatir… tak perlu takut… karena selalu ada harmoni dari semua itu, karena aku untukmu…

15 Rand St,
1 November 2009

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails