Monday, February 15, 2010

Sekelumit jejak peradaban suku Jaburara, di Jaburara Heritage Trail, Karratha, Western Australia

Hari minggu kemaren saya bangun lebih dini dari biasanya, karena tak mau didului oleh sang matari di bukit itu, tak rela, setelah beberapa hari minggu terakhir keok. Dan... akhirnya matari bertekuk di minggu pagi kemaren. Ia masih merangkak di bawah, saya di atas.

Baru ingat bahwa hari tersebut adalah hari Valentine saat menulis cerita ini. Namun jika
ingatpun, tidak akan memberikan pengaruh apapun terhadap prespektif "kasih" saya. Kalo di hari tersebut saya menghadiahkan cerita sebagai tanda kasih, tentu hanya sebuah kebetulan saja, toh hari itu adalah hari minggu, dimana saya libur bekerja. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan hari Valentine, lupakan saja.

Cerita atau dongeng ini kira-kira begitu, seperti yang biasa saya hadiahkan kepadanya, pasti belum bisa dimengerti, jika di-harga-kan juga mungkin tidak ada harga-nya, priceless menurut saya, dan ia-pun juga belum mengenal kata harga atau satu kata sekalipun yang ada di bumi ini.
Minggu pagi itu, saya pacu mobil lebih cepat dari biasanya, didorong bahwa hari ini harus lebih dulu sampai di bukit itu. Parkir, kemudian setengah berlari menuju puncaknya. Aummmm... saya berteriak, perhatian saya hinggap di beberapa titik; kota kecil Karratha, saung permanen tempat berteduh, bukit-bukit berwana perak, matari, penunjuk jalan setapak, plat informasi, semak, batu, ular, kangguru, goana, spinifex, dan empat binatang terakhir itu tidak terlihat, namun pasti mereka ada di sekitar saya, di belukar.

Cerita ini dimulai dari visitor center Karratha..., memberikan pelayanan jasa bagi siapapun yang membutuhkan informasi sekitar Karratha atau wilayah The West Pilbara lebih umumnya. Saya memilih jalur hiking dimana berserakan peninggalan pra-sejarah kaum aborigin. Jaburara Heritage Trail, panjang kurang lebih 3,5 km, pendek sih. Bisa ditempuh kurang dari 1 jam jalan kaki biasa tanpa istirahat. Namun akan butuh lebih dari beberapa jam jika ingin mencari dan kemudian melihat lebih dekat karya2 orang aborigin masa lampau itu. Saya sendiri butuh sekitar 3 jam untuk mencari dan menikmatinya, mungkin kalau saya seorang arkeolog pasti lebih lama dari 3 jam, mugkin juga berulang-ulang datang lagi, mungkin juga saya menjadikannya ladang riset.

Jaburara Heritage Trail, adalah sekelumit peradaban yang ditinggalkan suku Jaburara, diucapkan Yabura, Yaburara oleh orang setempat. Diperkirakan jalur sepanjang 3,5 kilometer dengan radius wilayah 5 kilometer ini pernah dijadikan tempat berlindung, basis atau camp suku Jaburara. Di utara jalur ini terlihat jelas sebuah teluk, yang saat ini disebut dengan Nickol Bay dan Tanjung yang saat ini disebut Burrup Peninsula. Jarak ke teluk atau tanjung ini kurang lebih 3-5 kilometer, jadi tempat ini juga cocok dijadikan tempat istirahat, bermain, bercengkrama dan berkomunikasi melalui petroglyphs yang berserak sepanjang trail.

Begitu menginjakan kaki di titik start (barat visitor center), saya sudah disuguhkan dengan deretan batu merah yang nampak rapuh, tapi susunannya membuat hati bergumam: "mungkin di situ ada beberapa petrtoglyph". Namun jangan terkecoh, karena gambar petroglyph disamping tidak saya temukan di tempat yang sulit dijangkau, tapi selalu ada di tempat yang mudah dilihat, landai, dan memiliki pemandangan ke terbuka ke berbagai arah.

Petroglyph atau biasa juga disebut sebagai rock engravings , atau memindahkan sebagian permukaan batu dengan proses ukir, gores, pahat, atau kupas hingga menghasilkan rupa tertentu. Petroglyphs di samping umurnya (menurut brosur) berusia antara 5000-6000 tahun, tua sekali yah?... Ketika melihatnya lebih dekat, dugaan saya, karya ini melalui proses gores, beda dengan gambar di atas yang melalui proses pahat. Ini dugaan saya lho... bisa jadi juga salah...
Masih nampak jelas rupa dari karya ini untuk usia 5000-6000 tahun, kok bisa-nya bertahan sekian lama, padahal tempat ini tidak jauh dari pantai, dimana udaranya mengandung garam yang saya ketahui cepet menghancurkan benda apapun. Oh ya.., curah hujan sih disini rendah sekali, jadi mungkin aman juga dari gerusan air hujan.

Temen menuliskan komennya di facebook saya:

"
kebayang kalau gw semeleketek coret-coret batu sekarang.. apakah jejaknya masih ada 5000 sd 6000 tahun yang akan datang..:))",

saya :

"hahahaha... kan leluhur simeleketek juga hebat... tuh Borobudur salah satu jejaknya... ga akan ad lagi yg bisa niru... everlasting...,

temen :

"hahahha.... borobudur emang master piece..:) tapi borobudur baru di bangun abad ke 8 masehi.. jadi masih cukup imut kalau di banding yang ini.. :))"ItalicIya yah... berarti Borobudur usianya baru sekitar 2000 tahun, sanggupkah ia bertahan lebih lama? mudah2an.

Jalan menelusuri jalur purba ini memang perlu menyediakan waktu yang cukup, jangan takut dengan terik matahari, bawa air minum yang cukup, mind your hat, kacamata cengdem, siaga selalu karena beberap jalur curam dengan batuan rapuh. Siaga juga dengan binatang seperti ular, kadal, atau bahkan kangguru yang mungkin tiba2 menyeruak dari semak atau batuan tempat dia berteduh. Kangguru masih lebih bahaya dibanding dengan dingo, anjing liar sini. Kangguru itu biasa menendang manusia yang ada di sekitarnya, tendannganya jangan pernah spelekan, kalo tidak robek kulit, pasti jatuh tersungkur.

Cuaca disini panas sekali, tiap hari berkisar di angka 36-40 derajat celcius, jadi saran saya luangkan waktu pagi hari, lebih dini lebih bagus, misalnya jam 6 pagi sudah di titik start, jam 9 sudah kembali lagi di titik start. Pasti menyenangkan. Kalo hari minggu, mungkin akan berpapasan dengan beberapa warga sini yang sedang lari cross country. Hari biasa, bisa dipastikan hanya akan ada anda sendirian.

Nah sudah ada bekal kan untuk coba menelusuri jejak purba ini, kalo masih kurang, bantuan pasti menyertai siapapun anda.





No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails